Sumber: Reuters | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan usulan menghapus salah satu dari dua pemilu nasional yang ada saat ini demi menghemat anggaran negara.
Gagasan ini menuai perhatian publik karena mengingatkan pada sistem pemerintahan era Orde Baru di bawah kepemimpinan otoriter Suharto, mantan mertua Prabowo.
Saat ini, Indonesia menjalankan dua jenis pemilu utama, yaitu pemilu presiden dan legislatif yang memilih presiden, anggota DPR, serta DPRD, dan pemilu kepala daerah yang memilih gubernur, wali kota, serta bupati.
Baca Juga: Menko Airlangga Umumkan PPN 12% dan Paket Kebijakan Ekonomi pada Senin (16/12)
Dalam pidatonya di Kongres Partai Golkar, Prabowo menyarankan agar pemilihan kepala daerah digantikan dengan mekanisme di mana kepala daerah dipilih langsung oleh legislatif daerah.
Menurut Prabowo, langkah ini dapat menghemat anggaran triliunan rupiah yang selama ini dikeluarkan untuk pemilu. Dana tersebut, katanya, lebih baik digunakan untuk meningkatkan fasilitas sekolah dan menyediakan makanan bagi siswa.
Kritik terhadap Efisiensi Demokrasi
Prabowo mempertanyakan efektivitas sistem demokrasi yang ada saat ini dengan mengkritik besarnya anggaran yang dihabiskan dalam satu atau dua hari untuk pemilu.
Namun, usulan ini mengundang perdebatan luas, karena dinilai serupa dengan sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung yang diterapkan selama era Orde Baru, di mana mekanisme tersebut sering disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan elit politik.
Usulan ini memunculkan kekhawatiran di kalangan akademisi dan aktivis demokrasi. Yoes C. Kenawas, seorang analis politik, menganggap gagasan Prabowo sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia.
Baca Juga: Prabowo Berencana Memberi Amnesti untuk Warga Binaan Lapas, Berapa Jumlahnya?
Ia menilai pemilu kepala daerah tetap merupakan cara terbaik bagi rakyat untuk memastikan bahwa pemimpin lokal bertanggung jawab. Kritik terhadap usulan ini juga mencerminkan kekhawatiran tentang potensi terkonsentrasinya kekuasaan di tangan eksekutif.
Dengan latar belakang Prabowo sebagai mantan komandan militer yang diberhentikan akibat dugaan pelanggaran HAM, beberapa pihak skeptis terhadap komitmennya pada nilai-nilai demokrasi.
Potensi Perubahan Hukum dan Implikasinya
Jika usulan ini terealisasi, perubahan besar pada Undang-Undang Pemilu harus dilakukan.
Namun, wacana ini menimbulkan sejumlah kekhawatiran, seperti pengurangan partisipasi publik dalam menentukan pemimpin daerah, meningkatnya peluang praktik politik transaksional di mana pemimpin daerah dipilih berdasarkan kepentingan elit politik, serta risiko menciptakan kemunduran demokrasi.
Baca Juga: Lingkaran Prabowo di Rotasi Perwira TNI
Sistem yang diusulkan Prabowo dianggap menyerupai praktik Orde Baru, yang selama tiga dekade menggunakan sistem serupa untuk mengontrol pemerintahan daerah.
Prabowo berhasil memenangkan pemilu Februari lalu dengan 58% suara, menjadikannya presiden dengan mandat kuat.
Koalisi politiknya yang besar mencakup hampir semua partai, kecuali satu, mempermudahnya untuk meloloskan kebijakan besar.
Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang pengaruh besar yang dapat ia gunakan untuk mengubah sistem politik demi kepentingannya.
Selanjutnya: Menteri ESDM Minta Proyek RDMP Balikpapan Dirampungkan Lebih Cepat dari Jadwal
Menarik Dibaca: Fokus Tingkatkan Bisnis Energi Terbarukan, SUN Energy Lakukan Strategj Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News