Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) segera mengevaluasi pajak penghasilan (PPh) Final atas sewa tanah dan bangunan. Rencana ini tertuang di Fokus Kebijakan Teknis Perpajakan 2020 dengan pertimbangan untuk memberi penegasan terhadap regulasi yang multi tafsir.
Di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Sewa Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan, tarif PPh Final atas sewa tanah dan bangunan yang berlaku saat ini adalah 10% dari jumlah bruto nilai sewa tanah dan bangunan.
Yang dimaksud jumlah bruto adalah semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang berkaitan dengan tanah dan bangunan yang disewa. Ini juga termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, layanan, dan biaya fasilitas lainnya.
Hitungan ini termasuk penghasilan dari persewaan tanah/bangunan yang dikenai PPh Final yakni penghasilan yang diterima oleh orang pribadi atau badan pemegang hak atas tanah dari investor dalam pelaksanaan bangun guna serah. Adapun usaha yang tidak terkena aturan itu pelayanan penginapan dan akomodasinya.
Baca Juga: PPh final atas sewa tanah dan bangunan dirombak, apa respons pengusaha?
Yunirwansyah, Direktur Perpajakan I Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menjelaskan, kantor pajak mengevaluasi secara menyeluruh perubahan aturan PPh Final sewa tanah dan bangunan pada tahun ini. Detil aturan akan dituangkan dalam revisi atas PP Nomor 34 Tahun 2017.
Menurut Yunirwansyah, pemerintah akan membahas tarif yang berlaku saat ini dengan simulasi perubahan tarif yang diusulkan asosiasi. "Kemungkinan dikenakan ketentuan umum jadi bukan PPh Final. Kemungkinan tarif dibedakan untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) dengan WP Badan," kata Wawan panggilan karibnya kepada KONTAN, Senin (31/8).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida menyambut baik adanya evaluasi PPh Final atas sewa tanah dan bangunan. Tapi Totok menilai jenis PPh Final sudah pas, tidak perlu diubah ke dalam ketentuan umum. "Tetap lebih baik PPh Final, untuk menghindari beda pendapat, mengurangi perbedaan persepsi pembayaran pajak di kemudian hari," kata Totok kepada KONTAN.
Baca Juga: Pemerintah menambah potongan angsuran PPh jadi 50%
Totok berharap, Ditjen Pajak menurunkan tarif PPh Final atas sewa tanah dan bangunan dari 10% menjadi 5%. Tujuannya, agar menjadi pemanis investasi di bidang jasa, mengingat saat ini tren penanaman modal dalam negeri dan asing sedang lesu.
Totok membandingkan dengan tarif PPh Final atas sewa tanah dan bangunan di negara lain, seperti rata-rata di negara-negara ASEAN berkisar di 2,5%-7,5%.
Baca Juga: Maaf, insentif pajak 2021 tidak sebesar tahun ini
Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bidang Keuangan dan Perbankan Ajib Hamdani menambahkan, biasanya ketentuan jumlah bruto dalam PPh Final atas sewa tanah dan bangunan menjadi pokok masalah. "Biaya sewa tentu tidak masalah, tapi karena digabungkan dengan biaya layanan lainnya, banyak pengusaha yang keberatan," terangnya.
Sebagai contoh sewa apartemen, gedung perkantoran, virtual office, yang menjadi objek PPh bukan hanya atas nilai sewanya, melainkan juga tambahan biaya penyertanya seperti Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL), biaya layanan, dan tambahan fasilitas lainnya. Semua harus dipotong 10%, final.
Tapi, pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menyebut mekanisme PPh final memang berpeluang menimbulkan policy gap. Artinya pungutan pajak jadi tidak optimal dan merefleksikan aktivitas ekonomi di sektor tertentu karena adanya skema PPh final yang notabene berbeda dengan tarif umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News