kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

PP JHT kurang sosialisasi


Kamis, 16 Juli 2015 / 10:00 WIB
PP JHT kurang sosialisasi


Reporter: Andri Indradie, Lisa Riani, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Bayangkan Anda seorang pekerja yang baru saja menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan. Uang pesangon dari perusahaan belum juga turun, sementara Lebaran di depan mata. Anda ingat, ada satu sumber dana yang bisa jadi andalan, yaitu Jaminan Hari Tua (JHT) alias program dari Jamsostek yang sekarang bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (BPJS KT).

Selama ini Anda tahu, JHT dapat dicairkan bila peserta berhenti bekerja sebelum usia 55 tahun dengan masa kepesertaan minimal lima tahun. Paling ada masa tunggu satu bulan sejak berhenti kerja, lantas Anda sudah bisa menikmati JHT yang Anda bayarkan selama ini. Apa yang Anda ketahui ini mengacu Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 tentang Perubahan Keenam PP No. 13/1993 tentang Penyelenggaran Program Jamsostek (lihat boks aturan).

Tiba-tiba, tanggal 30 Juni 2015 terbit aturan baru dari pemerintah berupa PP No. 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT tanpa masa transisi. Aturan ini berlaku detik itu juga. Dana JHT yang diharapkan bisa jadi tambalan atas berbagai kebutuhan di kepala Anda, ternyata, tak bisa cair. Masyarakat sontak menghebohkan JHT dan protes.

Menurut Hotbonar Sinaga, mantan Direktur Utama Jamsostek, aturan lama PP No. 13 itu sebenarnya terbit karena kejadian khusus, yaitu krisis akibat “mortgage” di Amerika Serikat. PP itu melenceng dari tujuan program JHT sebenarnya, yaitu sebagai jaminan agar peserta menerima uang tunai jika telah pensiun, cacat total tetap, atau meninggal dunia. Ini diatur di berdasarkan Undang-Undang No. 4/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

UU SJSN mengatakan, manfaat JHT diberikan sampai batas kepesertaan minimal 10 tahun (bukan lima tahun). Pada saat terbit tanggal 19 Oktober 2004, tak ada yang memprotes poin tersebut, termasuk pihak Jamsotek meski mereka tahu bakal muncul permasalahan di kemudian hari. Waktu itu, petunjuk pelaksanaan UU SJSN alias PP belum terbit.

Tujuh tahun setelah UU SJSN resmi meluncur, terbitlah UU No. 24/2011 tentang BPJS. Nah, PP sebagai petunjuk pelaksanaan BPJS baru saja terbit 30 Juni 2015 meski UU BPJS mengamanatkan PP wajib terbit minimal dua tahun sejak UU BPJS berlaku alias 25 November 2013. Mengapa baru terbit tanggal 30 Juni 2015 dan tak ada masa transisi? “Ini adalah kesalahan pemerintah SBY dan Jokowi. Pemerintah kurang sosialisasi aturan baru ini secara masif,” tutur Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch.


Butuh perppu
Lantaran banyak protes, pemerintah berniat merevisi PP No. 46 yang sudah membuat Anda kecewa karena tak ada masa transisi. Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Muji Handaya, ada dua poin revisi. Pertama, Anda bisa mencairkan seluruh dana yang disetorkan tanpa menunggu masa pensiun dengan syarat pekerja tidak lagi menjadi peserta BPJS KT karena meninggal atau PHK. Kedua, program JHT sebelum 10 tahun bisa cair 30% untuk kebutuhan perumahan. Apakah revisi PP tersebut cukup? Apakah PHK bisa dimasukkan jika undang-undang SJSN tidak memuat poin tersebut? Yang jelas, PP tak boleh bertentangan dengan undang-undang. Maka, dua langkah yang mungkin adalah “judicial review” atau penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Chazali Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), bilang, DJSN lebih memilih opsi revisi PP dengan menambahkan pasal transisi pada PP. Jika opsi ini gagal, perubahan pasal tertentu di UU harus dilakukan. “Kami dari DJSN juga memberi pandangan sebagian dana yang boleh diambil kalau bisa jangan terlalu kecil, misalnya 50%−60% dari total akumulasi JHT,” ujarnya.

Elvyn G. Masassya, Direktur Utama BPJS KT, bercerita, selama ini dana JHT ditempatkan dalam banyak instrumen sesuai PP No. 99/2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Instrumen itu di antaranya deposito (28%−32%), saham (18%−22%), obligasi (42%−46%), serta sisanya di instrumen reksadana dan penyertaan properti.

Sampai Mei 2015, total dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 197 triliun. Dari total dana kelolaan, sebanyak 90% merupakan dana JHT. Sisanya, sekitar 10% berupa jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan pensiun. Total peserta BPJS Ketenagakerjaan kira-kira
28 juta pekerja, yang terdiri 19 juta peserta aktif dan 9 juta peserta nonaktif.    


Laporan Utama
Mingguan Kontan No.42-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×