Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan potensi penerimaan. Baik penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sayangnya, penerimaan pajak yang dihasilkan dari APBN masih sangat minim.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, di tahun 2015 APBN hanya menghasilkan penerimaan pajak Rp 84 triliun saja. Sementara di tahun 2016, APBN hanya menghasilkan penerimaan pajak Rp 86 triliun saja. Di sisi lain, jumlah belanja negara dan daerah setiap tahunnya selalu meningkat.
"Kalau dilihat, angka itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan total penerimaan. Secara persentase, dia hanya 7,9% di tahun 2015 dari penerimaan. Bahkan turun jadi 7,8% di tahun 2016," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Nasional Sinergi Pengawasan Penerimaan Negara oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kementerian atau Lembaga dan Daerah 2017, di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa (12/9).
Padahal lanjut Sri Mulyani, penerimaan pajak dari APBN dan APBD seharusnya bisa diukur dan diproyeksi. Pengukuran yang dimaksud, yaitu dari belanja negara yang lebih dari Rp 2.133 triliun dalam APBN-P 2017, seharusnya bisa dihitung potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) anggaran gaji pegawai yang dipotong PPh Pasal 21.
Kemudian, bisa juga mengukur potensi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% yang didapat dari transkasi belanja yang menghasilkan pajak masukan dan pajak keluaran. Selain itu bisa juga mengukur potensi penerimaan PPh Pasal 21 dan Pasal 23 dari belanja barang dan belanja modal K/L.
"Sekarang saya minta untuk dihitung jumlahnya, pasti jauh lebih besar dari Rp 86 triliun atau Rp 87 triliun yang dikumpulkan selama ini. Ini menunjukkan bahwa potensi yang bisa dikontrol itu tidak bisa didapatkan secara optimal," tambahnya.
Persoalan utamanya lanjut dia, peranan bendaharawan. Sri Mulyani mengatakan, bendaharawan ada yang tidak paham, ada yang tidak memahami atran-aturan, bahkan tidak memahami transaksi keuangan padahalcmemiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan pajaknya.
"Kami juga melihat kalau mereka tahu aturan juga masalah kepatuhan, ada yang tahu tapi tidak patuh. Dan kepatuhan ini membutuhkan peranan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) untuk bisa mengawasi," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News