Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali hanya sekali. Dengan putusan MK itu, pengajuan PK bisa berkali-kali.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur mengatakan, pihaknya menghormati putusan tersebut. Namun, putusan itu bisa berdampak membanjirnya perkara PK ke MA.
Padahal, saat ini MA berusaha keras mengurangi penumpukan perkara di MA, antara lain dengan menerapkan ketentuan perkara final dan banding di tingkat banding, membatasi pengajuan perkara kasasi dan PK dengan mengeluarkan surat edaran MA bahwa PK hanya boleh sekali. PK dua kali hanya diperbolehkan jika terdapat perkara yang sama, tetapi putusannya berbeda.
”Dengan ketentuan ini, kita akan dihadapkan pada kepastian hukum. Apalagi kalau sudah eksekusi. Namun, untuk sementara, kita lihat nanti bagaimana. Mungkin ada beberapa regulasi MA yang harus dilihat kembali,” ujar Ridwan.
Kemarin, MK mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (istri dan anak Antasari).
Antasari mendalilkan pembatasan pengajuan PK menghalangi dirinya untuk memperjuangkan hak keadilan di depan hukum yang dijamin Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Antasari bersyukur atas putusan itu.
MA pernah menolak PK Antasari sehingga ia harus tetap menjalani hukumannya selama 18 tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Kebenaran materiil
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan, proses peradilan harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran tanpa keraguan. Dari prinsip itu, lahirlah prinsip ”lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”.
Kebenaran materiil, lanjut Anwar, mengandung semangat keadilan. Keadilan merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formal yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan sekali seperti diatur di dalam Pasal 268 Ayat (3) KUHAP. Hal itu karena mungkin saja setelah diajukan PK dan diputus, ada bukti baru (novum) yang substansial, yang saat PK diajukan belum ditemukan.
MK juga mengutip asas litis finiri oportet bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Namun, menurut MK, asas tersebut tidak harus diterapkan secara kaku. Dengan hanya boleh mengajukan PK sekali, padahal ditemukan adanya keadaan baru (novum), ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi kekuasaan kehakiman Indonesia.
Menurut Ridwan Mansyur, persoalan saat ini adalah banyak pencari keadilan yang mengajukan PK dengan alasan sangat sepele dan hanya menunda-nunda eksekusi. (ANA/KOMPAS CETAK)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News