Reporter: Indra Khairuman | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi regional kuartal II-2025 menunjukkan pergeseran yang signifikan. Sulawesi mencatat pertumbuhan paling tinggi berkat hilirisasi tambang serta penguatan infrastruktur, sedangkan Jawa dan Sumatera menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga momentum pertumbuhan.
M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan bahwa kinerja ekonomi regional menunjukkan adanya pergeseran sumbu pertumbuhan yang semakin terdesentrialisasi.
Ia menekankan bahwa Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, mengalami pertumbuhan tertinggi mencapai 5,83% selama periode tersebut. Ini didorong oleh momentum hilirisasi tambang dan peningkatan infrastruktur di industri berbasis nikel serta logam dasar.
“Keberadaan kawasan industri terintegrasi seperti Morowali menjadi katalis,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Rabu (6/8/2025).
Baca Juga: Anomali! Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025 Kalahkan Momentum Ramadan dan Lebaran
Menurutnya apabila kebijakan industrialisasi dipadukan dengan eksekusi investasi secara nyata, wilayah di luar Jawa bisa menjadi sumber pertumbuhan yang baru.
Rizal juga menjelaskan bahwa pulau Jawa masih menunjukkan resiliensi dengan konsumsi rumah tangga yang stabil serta basis sektor jasa yang matang. Pertumbuhan di Jawa tercatat mencapai 5,24%, dengan kontribusi paling tinggi dari DKI Jakarta sebesar 1,45%, disusul oleh Jawa Timur 1,33%, dan Jawa Barat 1,20%.
Sementara itu, Sumatera mengalami pertumbuhan sebesar 4,96%, dengan kontribusi tertinggi dari Sumatera Utara 1,09% dan Riau 0,95%.
“Pola pertumbuhan yang ditunjukkan oleh data PDRB regional memperlihatkan terjadi capaian paradox,” tegas Rizal.
Namun, meski ada sinyal positif bahwa agenda pembangunan tidak lagi hanya Jawa-sentris, ketimpangan kualitas pertumbuhan antar wilayah masih menjadi persoalan.
Baca Juga: Kontradiksi Data Pertumbuhan Industri BPS dan PMI Manufaktur, Mana yang Lebih Akurat?
Tingginya pertumbuhan di Sulawesi lebih mencerminkan komoditas berbasis ekstraksi, bukan karena ekspansi konsumsi atau pergeseran struktural yang mendalam.
“Artinya, pertumbuhan itu masih sangat rentan terhadap volatilitas harga global dan ketergantungan investor asing,” ucap Rizal.
Di sisi lain, ia mencatat bahwa pertumbuhan di Jawa tetap terjaga, tapi mulai kehilangan daya dorongnya, dipicu oleh pasar domestik yang jenuh dan adanya tekanan inflasi di sektor jasa.
Ia mengingatkan bahwa Sumatera harus bersiap menghadapi tekanan dari harga komoditas dan ketidakpastian dalam ekspor. Melihat tren yang ada hingga pertengahan tahun, ia memproyeksikan bahwa pertumbuhan hingga akhir tahun 2025 mungkin akan tetap berada di jalur moderat, yang berkisar antara 4,7% hingga 4,9%.
“Namun angka agregat ini menyembunyikan disparitas spasial yang makin kentara,” jelasnya.
Kawasan seperti Sulawesi dan sebagian Kalimatan mungkin terus mengalami pertumbuhan tinggi berkat proyek strategis nasional dan hilirisasi tambang, tapi pertumbuhan ini akan bersifat enclave jika tidak didukung oleh penguatan ekonomi lokal.
Rizal menekankan juga bahwa kelangsungan pertumbuhan antar wilayah sangat bergantung pada keberhasilan dalam mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif yang berfokus pada inovasi dan diversifikasi sektor riil. Tanpa adanya reformasi struktural yang lebih dalam, pertumbuhan ini berpotensi kehilangan momentum di paruh kedua.
Selanjutnya: UU Kripto Baru Menjadi Upaya Trump Mengembalikan Dominasi Dolar AS
Menarik Dibaca: Hingga Juli, Railink Catat 4 Juta Penumpang Naik KA Bandara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News