Reporter: Indra Khairuman | Editor: Noverius Laoli
Risiko utama dari kondisi ini, lanjut Huda, adalah meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika tren ini berlanjut, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK diperkirakan akan meningkat tajam.
“Dampaknya adalah berkurangnya permintaan terhadap tenaga kerja,” ujarnya.
Menurut Huda, situasi ini tidak hanya disebabkan oleh lemahnya permintaan dalam negeri, tetapi juga tekanan eksternal seperti perang tarif yang berdampak negatif terhadap ekspor Indonesia.
Baca Juga: OECD Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Ini Jadi 4,7%
Ia menyoroti kebijakan tarif dari Amerika Serikat yang berdampak luas terhadap banyak negara, termasuk Indonesia.
“Pertama, perang tarif dari AS mengakibatkan penurunan permintaan produk secara global, termasuk dari Indonesia,” ujar Huda.
Selain faktor eksternal, kondisi domestik juga perlu menjadi perhatian. Huda menekankan pentingnya mendorong daya beli masyarakat, khususnya di kalangan menengah ke bawah, yang saat ini masih lemah.
“Kedua, lemahnya permintaan domestik disebabkan oleh daya beli yang belum pulih,” jelasnya.
Baca Juga: IMF Merevisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7%
Ia mengingatkan bahwa daya beli yang rendah membuat masyarakat enggan melakukan konsumsi dalam skala besar, sehingga mengurangi permintaan terhadap produk industri dan menghambat ekspansi produksi.
“Daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah masih sangat terbatas,” pungkas Huda.
Selanjutnya: Kredit Plus (FMFN) Siapkan Dana Rp 319,41 Miliar untuk Lunasi Obligasi Jatuh Tempo
Menarik Dibaca: Liburan Sekolah, Hotel di Batam Hadirkan Kamar dengan Desain Karakter Anak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News