kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penyebab rendahnya penyerapan insentif perpajakan


Minggu, 04 Oktober 2020 / 14:27 WIB
Penyebab rendahnya penyerapan insentif perpajakan


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan persoalan terpenting penyerapan insentif perpajakan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terletak pada literasi pajak Indonesia yang masih belum optimal.

Akibatnya, terdapat kendala dalam menyerap dan memahami informasi mengenai tawaran insentif yang diberikan pemerintah. Darussalam juga menggarisbawahi bahwa dalam kondisi tekanan ekonomi saat ini, bukan berarti berbagai permintaan ataupun wacana insentif perpajakan harus disetujui.

“Karena pemerintah juga harus tetap berhati-hati terutama jika kita mempertimbangkan daya tahan anggaran pemerintah,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Sabtu (3/10).

Menurut Darussalam, pemberian insentif perpajakan perlu mempertimbangkan tiga hal.

Baca Juga: Penyerapan anggaran insentif pajak masih minim, ini penyebabnya

Pertama, soal timing. Efektivitas insentif akan sangat bergantung dari fase krisis yang sedang dihadapi. Sebagai contoh, pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor jangan sampai dilakukan saat ini tapi pada fase initial recovery yaitu saat ekspektasi konsumen sudah membaik.

Kedua, soal dampak pengganda. Sektor yang memberikan dampak pengganda bagi perekonomian termasuk penyerapan tenaga kerja seharusnya diprioritaskan.

Ketiga, soal besaran belanja perpajakan. Belanja perpajakan juga tetap perlu untuk dikendalikan agar kesinambungan fiskal dapat terjaga.

Di sisi lain, Darussalam mengapresiasi sikap pemerintah yang selalu merespons dengan cepat serta mengikuti dinamika perekonomian dalam memberikan insentif perpajakan. Pengajuan insentif perpajakan juga relatif mudah dan tidak dipersulit.

“Semisal ada kewajiban pelaporan serta pengawasannya oleh otoritas pajak, menurut saya hal tersebut justru sangat penting dan menjadi cermin dari prinsip good governance pemerintah,” ujar dia.

Baca Juga: Pemerintah berikan lima fasilitas pajak untuk industri farmasi

Sebagai catatan, berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) realisasi sampai 28 September 2020 sebesar Rp 27,61 triliun. Angka tersebut setara dengan 22,9% dari pagu senilai Rp 120,61 triliun.

Adapun secara rinci realisasi stimulus perpajakan sampai dengan periode akhir bulan lalu itu tersebar dalam beberapa insentif.

Pertama untuk insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah sebesar Rp 1,98 triliun setara 7,6% dari pagu senilai Rp 25,66 triliun. Kedua, pembebasan PPh 22 Impor senilai Rp 6,85 triliun atau sama dengan 46,4% dari total anggaran Rp 14,75 triliun.
 
Baca Juga: Realisasi penyaluran insentif tenaga kesehatan sudah mencapai 51,4%

Ketiga, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp 9,53 triliun, setara dengan 66% dari total pagu yakni Rp 14,4 triliun. Keempat, pengembalian pendahuluan atau percepatan restitusi pajak pertambahan nilai Rp 2,44 triliun, sama dengan 42% dari total anggaran Rp 5,8 triliun.

Kelima, penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% senilai Rp 6,82 triliun. Angka tersebut setara dengan 34,1% dari total insentif program ini senilai Rp 20 triliun.

Selanjutnya: CITA menilai insenitif perpajakan tidak menarik minat wajib pajak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×