Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
Selain itu, lanjut Yusuf, Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia berjalan relatif lambat. Kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan PLT Bioenergi pada tahun 2018 masing-masing baru mencapai 2 ribu MW dan 1,8 ribu MW.
Sementara sumber energi lainnya seperti PLT Surya dan PLT Bayu (angin) masih di bawah 200 MW. Murahnya sumber energi pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batubara dan solar membuat investasi pengembangan EBT kurang menarik investor swasta.
Di sisi lain, Yusuf menilai kebijakan Pemerintah dalam pengembangan energi alternatif juga terkesan tidak konsisten. Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengeluarkan kebijakan untuk melakukan konversi BBM ke gas bagi transportasi massal, mengingat sekitar 40% konsumsi BBM diperuntukkan untuk sektor transportasi.
Baca Juga: Jokowi ajak para pemimpin wujudkan ekosistem rantai pasok global yang tangguh
Namun, kebijakan ini tidak berlanjut karena pemerintah justru mendorong penggunaan mobil listrik sebagai alternatif BBM.
Kebijakan mobil listrik tentu sangat baik untuk mereduksi penggunaan BBM, dengan catatan pembangkit listriknya juga menggunakan bahan bakar non-BBM yang lebih murah. Hanya saja, kebijakan tersebut harus diterapkan secara konsisten sehingga industri otomotif mendapatkan kepastian dalam berinvestasi.
“Jadi secara singkat, gagasan perubahan green economy untuk beberapa aspek belum dijalankan pemerintah secara konsisten. Hal ini yang juga menjadi pertimbangan potensi negara mitra kerjasama, ketika ingin menindaklanjuti kerjasama perubahan iklim maupun green economy,” jelas Yusuf.
Selanjutnya: The Fed berpotensi hawkish, rupiah diproyeksikan melemah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News