Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia optimistis momentum KTT G20 dan UN Climate Change Conference of the Parties (COP26). Seperti diketahui, dalam kedua agenda tersebut, Jokowi bersama sejumlah jajaran menteri melakukan pertemuan bilateral baik dengan pemimpin negara dan investor.
Koordinator Wakil Ketua Umum (WKU) III Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin, Shinta W. Kamdani menyambut positif hasil pertemuan dengan para pemimpin negara maupun investor.
Menurutnya, nilai lebih dari pertemuan Jokowi dengan para pemimpin dunia adalah menarik perhatian pemimpin dunia terhadap potensi Indonesia. Serta keterbukaan Indonesia terhadap investasi asing dan daya saing iklim usaha di Indonesia.
“Selebihnya kita harus agresif mem-follow up hasil pendekatan-pendekatan Presiden tersebut dengan mengshowcase bagaimana iklim usaha kita lebih kompetitif, lebih efisien dan potensi return/growth untuk investasi di Indonesia lebih menarik dibandingkan negara pesaing. Ini pekerjaan rumah terberatnya,” ujar Shinta saat dihubungi, Selasa (2/11).
Baca Juga: Resmi berakhir, KTT G20 hasilkan deklarasi pemimpin negara
Kadin Indonesia secara khusus berharap pertemuan Presiden Jokowi dengan pimpinan negara di Eropa dapat menarik investasi sektor riil ke Indonesia. Khususnya green investment dan investasi energi baru terbarukan (EBT). Sebab, momentumnya bertepatan dengan agenda COP26.
“Bila kita memanfaatkan momentum ini dengan tepat dan memfollow up dengan baik, kami sangat yakin investasi – investasi baru akan berdatangan pasca pertemuan Pak Jokowi di KTT G20 dan COP26,” ucap Shinta.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, saat ini pemerintah tengah serius turut ikut andil dalam upaya mencegah dampak buruk perubahan lingkungan. Salah satunya melalui munculnya pajak karbon yang dimunculkan oleh pemerintah di tahun ini.
Pemerintah juga sebelumnya juga telah berhasil menurunkan tingkat deforestasi selama 20 tahun terkahir.
“(Namun) Untuk pengembangan green economy, saya kira masih akan cukup menantang untuk direalisasikan, untuk misalnya kita bicara green industry, terutama untuk sektor otomotif,” ucap Yusuf.
Baca Juga: KTT G20, Jokowi usul tiga upaya bersama percepat pencapaian SDGs
Ia mencontohkan, pengembangan mobil listrik di dalam negeri misalnya masih akan tergantung dari biaya investasi yang cukup mahal. Artinya meskipun Indonesia punya sumber daya nikel yang cukup besar tetapi ketika diolah sampai menjadi baterai listrik dan lebih lanjut menjadi mobil listrik masih sangat panjang.
“Apalagi di tahun lalu, Tesla yang digadang membuka pabrik di Indonesia akhirnya memilih negara lain,” ujar Yusuf.
Selain itu, lanjut Yusuf, Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia berjalan relatif lambat. Kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan PLT Bioenergi pada tahun 2018 masing-masing baru mencapai 2 ribu MW dan 1,8 ribu MW.
Sementara sumber energi lainnya seperti PLT Surya dan PLT Bayu (angin) masih di bawah 200 MW. Murahnya sumber energi pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batubara dan solar membuat investasi pengembangan EBT kurang menarik investor swasta.
Di sisi lain, Yusuf menilai kebijakan Pemerintah dalam pengembangan energi alternatif juga terkesan tidak konsisten. Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengeluarkan kebijakan untuk melakukan konversi BBM ke gas bagi transportasi massal, mengingat sekitar 40% konsumsi BBM diperuntukkan untuk sektor transportasi.
Baca Juga: Jokowi ajak para pemimpin wujudkan ekosistem rantai pasok global yang tangguh
Namun, kebijakan ini tidak berlanjut karena pemerintah justru mendorong penggunaan mobil listrik sebagai alternatif BBM.
Kebijakan mobil listrik tentu sangat baik untuk mereduksi penggunaan BBM, dengan catatan pembangkit listriknya juga menggunakan bahan bakar non-BBM yang lebih murah. Hanya saja, kebijakan tersebut harus diterapkan secara konsisten sehingga industri otomotif mendapatkan kepastian dalam berinvestasi.
“Jadi secara singkat, gagasan perubahan green economy untuk beberapa aspek belum dijalankan pemerintah secara konsisten. Hal ini yang juga menjadi pertimbangan potensi negara mitra kerjasama, ketika ingin menindaklanjuti kerjasama perubahan iklim maupun green economy,” jelas Yusuf.
Selanjutnya: The Fed berpotensi hawkish, rupiah diproyeksikan melemah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News