Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana akan mengurangi fasilitas non objek pajak barang dan jasa di tahun depan. Sebab, jumlah non-barang kena pajak (BKP) dan non-jasa kena pajak (JKP) yang dikecualikan dari pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia termasuk banyak.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian fasilitas PPN tersebut berdampak terhadap tax ratio. Karena itu, kebijakan tersebut akan dikaji ulang oleh pemerintah.
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022 pun, pemerintah mengungkapkan, terdapat indikasi adanya fasilitas PPN yang tidak tepat sasaran dan berpotensi mengikis basis pemajakan atau mengurangi penerimaan pajak dalam implementasi non-BKP dan non-JKP.
Adapun dengan aturan yang berlaku saat ini terdapat empat kelompok non-BKP yang tidak dikenai PPN. Pertama, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, terkecuali batubara.
Kedua, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak antara lain besar, gabah, jagung, gading, dan lain-lain. Ketiga, makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Keempat, uang, emas batangan, dan surat berharga.
Baca Juga: Sri Mulyani akan ubah tarif PPh Orang Pribadi dan tambah layer pendapatan kena pajak
Sementara, non-JKP terdiri dari 17 kelompok antara lain jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, dan jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
Berikutnya ada jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
Selanjutnya, jasa tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang dengan wesel pos, serta jasa boga atau katering.
Sejalan, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar bilang, banyaknya barang dan jasa yang bukan objek PPN menjadi salah satu alasan rendahnya kinerja tax ratio Indonesia.
Hal tersebut terlihat dalam laporan belanja perpajakan. Berdasarkan catatan Kemenkeu, dalam tiga tahun terakhir, PPN mendominasi tax expenditure. Pada 2020 realisasi belanja perpajakan senilai Rp 228 triliun, dimana 63,8% diantaranya yakni Rp 145,5 triliun berasal dari PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Kemudian pada 2019, dari total Rp 257,2 triliun belanja perpajakan, Rp 166,9 triliun atau 64,89% berasal dari PPN dan PPnBM. Lalu, realisasi belanja perpajakan pada 2018 sebesar Rp 225,2 triliun dengan penyerapan PPN dan PPnBM sebesar 63,41% atau sama dengan Rp 142,8 triliun.
“Belanja perpajakan PPN Indonesia paling besar dari belanja perpajakan barang dan jasa yang bukan objek PPN. Dampaknya signifikan sekali bagi penerimaan negara,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (20/5).
Menurut Fajry, banyaknya barang/jasa yang bukan objek PPN menyebabkan kinerja penerimaan pajak Indonesia procylical. Ketika ekonomi turun, penerimaan pajaknya turun lebih dalam dibandingkan penurunan ekonomi.
Tak hanya penerimaan, karena barang dan jasa yang bukan objek PPN ini dapat menyebabkan cascading effect. Sebab, PPN masukan tidak dapat dikreditkan yang kemudian menjadi biaya produksi.
“Sehingga harga jual dari produk dihasilkan menjadi lebih mahal. Makanya, banyak pengusaha protes terhadap beberapa barang/jasa yang dikecualikan sebagai objek PPN,” ujar dia.
Baca Juga: Saran pengamat pajak terkait wacana pemerintah mengubah tarif PPN
Oleh karenanya, Fajry menyarankan bagi barang/jasa yang dikecualikan sebagai objek PPN karena masalah teknis, technical exemption, bisa dipertahankan. Sisanya dapat dipertimbangkan untuk dihapus.
Sebagai catatan, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan dalam kisaran Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun pada tahun 2022. Angka tersebut tumbuh 9,1% sampai dengan 9,5% dari outlook penerimaan perpajakan tahun ini senilai Rp 1.444,5 triliun.
Selanjutnya: Restrukturisasi, Pertamina sudah pangkas 115 anak usaha
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News