Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah cenderung melemah beberapa hari terakhir di mana di perdagangan hari ini, Rabu (29/11) dibuka melemah tipis di level Rp 13.514. Harga minyak juga cenderung naik bahkan sempat melonjak ke posisi tertinggi dalam 2,5 tahun terakhir, atau ke posisi 58,09 dollar AS per barrel.
Melihat hal ini, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa dampak dari fluktuasi rupiah dan harga minyak ke realisasi APBNP tidak jauh dari yang direncanakan.
Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kemkeu Askolani mengatakan, perubahan parameter kurs dan ICP tersebut masih bersifat harian atau mingguan di mana Kemkeu menghitung indikator tersebut di APBN adalah untuk rata-rata satu tahun yang bisa berbeda angkanya dengan angka harian atau mingguan.
“Seperti saat ini faktanya rata-rata kurs dan harga ICP sejak Januari-November ini serta perkiraan satu bulan di Desember maka angkanya tidak jauh dari yang diperkirakan di APBNP,” kata dia kepada Kontan.co.id, Rabu (29/11)
Oleh karena itu diperkirakan dampaknya ke Realisasi APBNP tidak jauh dari yg direncanakan. “Sehingga tidak ada perubahan kebijakan sama sekali mengenai hal itu,” ucapnya.
“Apalagi untuk 2018, yang belum jalan sama sekali dan nanti akan kami hitung parameternya untuk rata-rata selama 12 bulan,” kata dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara mengatakan, yang jadi masalah di tengah perubahan parameter kurs dan ICP sekarang adalah pemerintah terkesan menekan BUMN untuk mewujudkan ambisi populis jangka pendek.
Misalnya, Pertamina diminta untuk wujudkan BBM satu harga dan PLN diminta membangun 35 ribu MW. “Di sisi lain subsidi energi terbatas karena asumsi minyaknya di APBNP 2017 sebesar US$ 48 per barel. Harga keekonomian Premium seharusnya sudah di atas 7.000 per liter tapi dijaga di 6450 per liter,” katanya.
Selisih itu, yang menanggung adalah Pertamina. Bhima mengatakan, beban public service obligation (PSO) dikhawatirkan merugikan Pertamina lebih dari Rp 10 triliun sejak awal 2017 karena jual Premium dan Solar di bawah harga keekonomian.
Begitu juga PLN karena kondisi penjualan listrik rumah tangga turun dibanding tahun lalu. “Di sisi yang lain PLN masih harus mendanai megaproyek pembangkit. Ujungnya kelebihan pasokan listrik dibebankan ke masyarakat dengan dalih peningkatan daya,” ujar dia.
Menurut Bhima, apabila terus dilanjutkan model penugasan ini, keuangan beberapa BUMN dipastikan terganggu. Ia mengatakan, dari penugasan BUMN itu sebagian besar memakai APBN sebagai guarantee atau penjaminan. Ini menciptakan contingent liabilities atau beban jangka panjang.
“Sekarang kondisi ekonomi tidak menentu. Risiko gagal bayar BUMN pun meningkat. Yang menanggung kalau BUMN gagal bayar adalah Pemerintah pakai APBN,” kata dia.
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan pemerintah adalah segera melakukan audit ke seluruh BUMN dan melakukan rasionalisasi penugasan. “Kalau perlu bentuk pansus untuk mengaudit kinerja BUMN yang diberi penugasan. Nanti terlihat risiko sebenarnya berapa dan kesiapan Pemerintah untuk menanggung risiko itu,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News