Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam dua tahun ke belakang penerimaan pajak tidak pernah mencapai target yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tetapi, persentase pencapaian tahun 2017 dan 2018 lebih tinggi ketimbang tahun sebelumnya.
Sayangnya, tren penerimaan pajak yang selalu mendekati target diramal tidak akan terjadi di tahun ini, alias shortfall pajak semakin melebar. Dari sisi persentase pertumbuhan penerimaan pajak 2019 diramal tidak setinggi 2017 dan 2018. Sebab, catatan Kontan.co.id per 26 Desember 2019 penerimaan pajak baru 80,29% dari target akhir tahun ini.
Bila mengulas penerimaan pajak pada tahun lalu, data Kementerian Keuangan menunjukkan pada tahun 2018 realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.315,93 triliun atau 92,41% dari target yang ditetapkan APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun.
Baca Juga: Pemerintah terbitkan Perpres Tax Treaty, ini plus minusnya menurut pengamat
Namun demikian, pencapaian penerimaan pajak tahun lalu merupakan pencapaian teritnggi dalam lima tahun terakhir. Terdapat dua hal yang juga menjadikan capaian kali ini lebih istimewa.
Pertama, capaian ini diraih tanpa melalui mekanisme perubahan APBN (APBN-P).
Kedua, capaian ini tetap mampu diraih meski terdapat pengurangan penerimaan potensial dari pemberian fasilitas perpajakan, terutama penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari sebelumnya 1% menjadi 0,5% dan program percepatan restitusi atawa pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Tingginya pertumbuhan penerimaan pajak pada 2018 cukup menggembirakan, mengingat angka tersebut jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi atau outlook pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,15% dan inflasi 3,13%.
Bila menilik lebih dalam, faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi merupakan pendorong pertumbuhan alami, maka peningkatan penerimaan pajak di tahun 2018 merupakan hasil dari peningkatan kesadaran masyarakat melalui kepatuhan sukarela atau voluntary compliance dan ekstra effort yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seperti kegiatan Pengawasan Wajib Pajak (WP), pemeriksaan, penagihan, penyidikan dan ekstensifikasi.
Sumber pertumbuhan berasal dari kinerja jenis-jenis pajak utama tahun 2018 pun memang cukup menggembirakan, umumnya mengalami pertumbuhan double digit. Pertumbuhan pajak penghasilan (PPh) non-migas mencapai 15,1% ditopang oleh pertumbuhan PPh Pasal 25/29 Badan dan Orang Pribadi, yang mulai merasakan efek pelaksanaan program tax amnesty.
Sementara itu, penurunan persentase penduduk miskin dan tingkat pengangguran masyarakat mendorong pertumbuhan penerimaan PPh Pasal 21. Pertumbuhan signifikan juga dicatatkan oleh pajak-pajak atas impor yakni PPh Pasal 22 Impor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor, didorong oleh meningkatnya nilai impor Indonesia di tahun 2018.
Sementara itu, penerimaan pajak di tahun 2017 berdasarkan Kemenkeu realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.147,5 triliun setara dengan 89,4% dari target yang ditetapkan kala itu senilai Rp 1.283,6 triliun. Angka tersebut tumbuh 3,8% secara tahunan.
Baca Juga: Jokowi sahkan tax treaty, begini pandangan ekonom
Pencapaian tersebut setidaknya lebih baik daripada realisasi tahun 2016 yang hanya mencapai 81,6% dari target akhir tahun. Pertumbuhan penerimaan pajak pada 2017, lebih banyak dipengaruhi oleh Rp 122,7 triliun penerimaan pajak yang sifatnya tidak berulang yaitu penerimaan dari uang tebusan pengampunan pajak dan PPh final atas revaluasi aktiva tetap.
Apabila penerimaan yang sifatnya tidak berulang ini dikeluarkan dari perhitungan, maka pertumbuhan penerimaan pajak di tahun 2017 menjadi 15,5%. Sementara itu, secara keseluruhan, lima sektor terbesar penerimaan pajak berkontribusi 76% dari total penerimaan. Adapun lima sektor utama ini adalah sektor industri pengolahan atau manufaktur, perdagangan baik besar maupun eceran, jasa keuangan, konstruksi, dan pertambangan.
Kinerja pertumbuhan sektor utama di tahun 2017 cukup baik, secara agregat mencapai 16,59%. Pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh sektor pertambangan yang tumbuh 39,3% seiring dengan membaiknya harga komoditas tambang. Sementara itu, dua sektor terbesar yaitu industri pengolahan dan perdagangan tumbuh positif masing-masing sebesar 17,1% dan 22,9%.
Setali tiga uang, pertumbuhan sektor industri pengolahan dan perdagangan memberikan indikasi yang positif terhadap kondisi perekonomian secara umum. Kondisi ini ditunjukkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak yang sifatnya transaksional aktivitas tahun berjalan seperti PPN Impor, PPh Pasal 22 Impor, dan PPN Dalam Negeri.
Dari realisasi penerimaan pajak 2017 dan 2018 secara berurutan shortfall pajak sebesar Rp 136,1 triliun dan Rp 108,07 triliun. Sementara di tahun ini pemerintah memprediksi shortfall pajak mencapai Rp 140 triliun-Rp 200 triliun. Akan tetapi dari tren realisasi pajak sepanjang tahun ini potensi shortfall bisa lebih dari Rp 200 triliun.
Berdasarkan informasi yang didapat Kontan.co.id dari sumber Kemenkeu, realisasi penerimaan pajak sampai dengan 26 Desember 2019 baru mencapai 80,29% dari target akhir tahun sebesar Rp 1.577,6 triliun. Artinya penerimaan pajak baru sekitar Rp 1.266,65 triliun.
Dengan target tersebut, otoritas pajak harus bergegas mengejar sekitar 19% dari total target ujung tahun 2019. Namun demikian pemerintah menyadari bahwa pelemahan ekonomi global yang berdampak ke dalam negeri membuat realiasi penerimaan pajak meleset dari target yang ditetapkan.
Pencapaian penerimaan pajak sampai dengan November 2019 yang baru 72% dari target sudah mencerminkan kegelisahan pemerintah.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan penurunan harga komoditas di pasar global menyebabkan pertumbuhan pajak penghasilan (PPh) Migas mengalami kontraksi pertumbuhan negatif.
Baca Juga: Program keringanan pajak kendaraan berakhir hari ini
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan dengan waktu yang terbatas, mustahil bila penerimaan pajak bisa bertambah Rp 300 triliun atau bahkan masih sulit mendekati target penerimaan pajak tahun lalu.
Sementara proyeksi Prastowo level terendah shortfall pajak tahun ini sebesar Rp 236,7 triliun. “Perencanaan tidak kredibel, kalau meleset lebih dari Rp 100 triliun pada outlook namanya bukan shortfall lagi, tapi super shortfall,” kata Prastowo kepada Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.
Pengamat Pajak Danny Darussalan Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan shortfall pajak tahun 2019 sebesar Rp 259 triliun. Kondisi penerimaan pajak yang jauh dari ekspektasi lantaran tidak adanya kebijakan pajak yang signifikan dilakukan dalam semester I-2019 untuk menggali potensi pajak.
Oleh karena itu, menurutnya saat ini upaya extra effort dalam rangka ekstensifikasi sudah tidak mungkin dilaksanakan. Otoritas pajak dinilai hanya bisa mengandalkan sumber penerimaan yang sifatnya siklus rutin saja.
“Inilah fakta yang memang harus diterima oleh pemerintah terkait dengan penerimaan pajak. Jadi, lebih baik tenaga, pikiran, dan waktu yg tersisa digunakan untuk strategi 2020,” kata Darussalam.
Menurutnya tentu, fakta realisasi penerimaan pajak 2019 ini dijadikan renungan untuk menuju tahun 2020, dengan merumuskan kembali target pajak 2020 untuk lebih realistis lagi dan/atau merumuskan kebijakan pajak untuk memperluas basis pajak yang terdiri dari subjek pajak dan objek pajak baru.
Darussalam menambahkan pemerintah harus tetap fokus pada reformasi pajak yang sedang berlangsung meliputi reformasi atas organisasi, proses bisnis, sumber daya manusia, data dan informasi, serta revisi Undang-Undang (UU) Pajak.
Kata Darussalam bila pemerintah hanya memiliki senjata Rancangan Undang-Undang (RUU) Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi atawa Omnibus Law Perpajakan saja akan sulih menggerek penerimaan pajak di tahun-tahun selanjutnya.
Sehingga, pemerintah juga harus segera menyiapkan Revisi Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), RUU PPh, dan RUU PPN sebagai strategi pencapaian penerimaan pajak dari sisi kebijakan dan aturan perpajakan.
“Substansi utamanya tetap di RUU KUP, RUU PPh, dan RUU PPN, tentu juga harus didukung oleh administrasi pajak yang handal,” kata Darussalam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News