Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah yang merosot telah berdampak terhadap banyak sektor. Pertambangan mineral dan batubara (minerba) menjadi salah satunya.
Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) menilai, kebijakan pengurangan impor untuk penghematan devisa semestinya bisa menjadi momentum untuk meningkatkan proses peningkatan nilai tambah produk pertambangan (hilirisasi).
Apalagi, hilirisasi ini dapat menjadi subsitusi produk-produk dalam pembangunan infrastruktur yang tengah digencarkan pemerintah. Namun, menurut Direktur Ciruss Budi Santoso, untuk mendukung program peningkatan nilai tambah produk pertambangan, pengusaha nasional masih mengalami banyak kesulitan.
“Antara lain soal finansial, partnership, teknis dan non-teknis, sehingga target-target yang disampaikan tidak mudah tercapai, bahkan beberapa perusahaan telah dibekukan sementara ijin ekspornya,” ungkap Budi dalam siaran pesnya, akhir pekan lalu.
Dengan mengamati dinamika di lapangan dan kondisi nasional saat ini, ada sejumlah usulan untuk pemerintah yang disampaikan. Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan sertor mineral pertambangan sebagai emergency exit untuk mendapatkan devisa dan menopang pertumbuhan ekonomi.
Kedua, pemerintah perlu mempertimbangkan dinamika lapangan yang dialami oleh pengusaha, khususnya terkait dengan permodalan, partnership, non-teknis, perijinan.
Ketiga, harus diperhatikan soal pemanfaatan lahan. Sebab dalam jangka panjang, mineral sebagai aset negara tidak mungkin lagi dapat dimanfaatkan secara ekonomis karena kompensasi lahan yang semakin mahal.
Keempat, Budi menilai, pemerintah perlu meninjau kembali peraturan yang berkaitan dengan hilirisasi berdasarkan kondisi dunia usaha dan berbagai kesulitannya. Dengan tujuan supaya pengusaha nasional memiliki kemampuan dalam membangun pemurnian dan pengolahan produk tambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News