Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta berhati-hati dalam menentukan skema pendanaan untuk Koperasi Desa Merah Putih. Tiga skema pendanaan yang tengah dikaji pemerintah dinilai memiliki risiko yang cukup tinggi.
Tiga skema tersebut meliputi: pertama, pendanaan menggunakan dana publik (public fund); kedua, pinjaman melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara); dan ketiga, pemanfaatan skema transfer ke daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa saat ini pemerintah sedang melakukan koordinasi untuk mengidentifikasi sumber anggaran. Pendanaan tersebut dapat berasal langsung dari dana publik atau dari aktivitas ekonomi di tingkat desa.
Baca Juga: Zulhas Jadi Ketua Satgas, Pemerintah Siapkan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih
Namun, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai ketiga skema tersebut mengandung risiko serius.
Ia menjelaskan, pendanaan dari dana publik memang lebih cepat dieksekusi, namun berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta membuka peluang moral hazard.
"Ini jalan pintas yang seharusnya dihindari. Jika terpaksa digunakan, pendanaan harus diikat pada kinerja koperasi melalui skema matching grant berbasis target dan evaluasi berkala, bukan sekadar hibah," ujar Yusuf kepada KONTAN, Minggu (27/4).
Yusuf juga menilai skema pinjaman melalui Himbara dapat menimbulkan tekanan politik kepada perbankan untuk menyalurkan kredit kepada koperasi yang tidak layak, sehingga berisiko menurunkan kualitas aset perbankan.
Adapun skema transfer ke daerah dinilai paling rentan, karena perbedaan kapasitas antar daerah dapat meningkatkan risiko salah sasaran dan korupsi.
Baca Juga: CORE Sebut Kajian 3 Skema Pendanaan untuk Koperasi Desa Merah Putih Tinggi Risiko
Sebagai solusi, Yusuf menyarankan agar pemerintah mensyaratkan transfer berbasis kinerja daerah, memperkuat fungsi audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta memberikan sanksi fiskal yang tegas kepada daerah yang gagal mengelola dana.