Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Musim pembayaran dividen perusahaan domestik kepada investor asing pada kuartal II-2025 diperkirakan memberi tekanan besar terhadap neraca pembayaran Indonesia, terutama pada transaksi berjalan di pos pendapatan primer.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan peningkatan pembayaran dividen ke luar negeri akan memperdalam defisit pendapatan primer dan memperbesar defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II 2024, defisit pendapatan primer tercatat sebesar US$9,49 miliar. Menurut Josua, defisit ini terutama disebabkan oleh pembayaran imbal hasil dari investasi langsung, portofolio, dan investasi lainnya.
Baca Juga: Tarif Impor Trump Pengaruhi Fundamental Rupiah dan Neraca Pembayaran Indonesia
"Ini sejalan dengan pola historis, di mana puncak pembayaran dividen biasanya terjadi pada kuartal II, setelah mayoritas perusahaan membagikan dividen usai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan di kuartal I," jelas Josua kepada Kontan, Jumat (25/4).
Josua menambahkan, meningkatnya defisit pendapatan primer, ditambah tekanan pada ekspor akibat melemahnya permintaan global, akan membuat neraca transaksi berjalan semakin tertekan.
Ia mencatat, berdasarkan data Neraca Pembayaran (Balance of Payments/BoP) 2024, defisit transaksi berjalan sepanjang tahun naik menjadi US$ 8,86 miliar atau -0,63% dari PDB, dibandingkan -0,15% pada 2023. Kondisi ini utamanya disebabkan oleh kenaikan impor, pelemahan neraca jasa, serta memburuknya pendapatan primer.
"Meskipun neraca perdagangan barang masih surplus, lonjakan pembayaran dividen berisiko mengikis surplus tersebut, apalagi jika tidak diimbangi dengan perbaikan ekspor atau penerimaan jasa," ungkap Josua.
Namun, menurutnya, tekanan pada neraca pembayaran dapat diredam oleh surplus neraca modal dan finansial (financial account surplus/FAS), seperti yang terjadi pada kuartal II dan IV 2024, berkat masuknya investasi langsung dan instrumen moneter seperti SRBI.
Baca Juga: Defisit Neraca Transaksi Berjalan Diprediksi Melebar Menjadi 1,18% dari PDB di 2025
Meski demikian, kenaikan pembayaran dividen tetap menjadi tekanan, terutama di tengah proyeksi pelebaran defisit transaksi berjalan hingga -1,18% dari PDB pada 2025.
Josua mengingatkan, jika aliran masuk modal melemah akibat ketidakpastian global atau tekanan geopolitik, dampak pembayaran dividen yang besar akan lebih terasa terhadap cadangan devisa dan nilai tukar.
"Oleh karena itu, meskipun pembayaran dividen musiman ini sudah menjadi pola yang bisa diprediksi, peningkatan jumlahnya di tengah lemahnya ekspor dan naiknya impor tetap menjadi risiko yang harus diantisipasi," tegasnya.
Untuk menjaga ketahanan neraca pembayaran dalam jangka menengah, Josua menilai pentingnya memperkuat kebijakan pengelolaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam, meningkatkan pendapatan dari sektor jasa, dan mendorong daya saing ekspor manufaktur.
Dalam kesempatan berbeda, Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang menilai, pembayaran dividen ke luar negeri memang berpotensi meningkatkan outflow atau pada transaksi berjalan, sehingga dapat memberi tekanan pada neraca pembayaran.
“Namun demikian, secara musiman, pola ini konsisten terjadi setiap tahun pada periode pembagian dividen, sehingga perkiraannya tidak terdapat perbedaan signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” kata Hosianna.
Sejalan dengan hal itu, ia memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak kisaran Rp 16.700 hingga Rp 16.800 per dolar AS pada kuartal II 2025.
Selanjutnya: Prospek Emiten Konstruksi di Semester II-2025 Belum Cerah
Menarik Dibaca: Promo Superindo Weekday 28 April-1 Mei 2025, Beli 1 Gratis 1 Jamur Enoki dan Nugget
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News