Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Rabu (8/6) kemarin menyampaikan bahwa optimisme bahwa momentum pemulihan ekonomi akan tetap berjalan. Namun, di sisi lain pemerintah juga menyadari masih tingginya risiko dan ketidakpastian ke depan.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, jika melihat kondisi pada saat ini, resiko stagflasi pada beberapa negara indikasinya terlihat cukup jelas.
Salah satunya terlihat dari kenaikan inflasi yang sangat tinggi namun di saat yang bersamaan pemulihan ekonomi belum cepat mengejar proses kenaikan inflasi.
Baca Juga: Sri Mulyani Ingatkan Ancaman Inflasi dan Dinamika Global
“Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi berada pada level yang cukup rendah,” ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (12/6).
Kondisi geopolitik yang mendorong kenaikan harga komoditas energi menjadi salah satu faktor penyebabnya, dan pada muaranya juga ikut menggerek meningkatnya harga pangan di seluruh dunia.
Dalam konteks Indonesia, Yusuf mengatakan bahwa sebenarnya stagflasi perlu dilihat lebih lanjut, karena jika melihat dari beberapa indikator sebenarnya prasyarat stagflasi di Indonesia belum terlihat setidaknya sampai dengan bulan Juni ini.
“Memang betul bahwa inflasi mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun lalu, namun kenaikan inflasi ini juga diikuti dengan proses pemulihan ekonomi ataupun pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dari beberapa indikator,” tutur Yusuf.
Misalnya pada Indeks Keyakinan Konsumen dan Indeks Penjualan riil yang masih berada pada level yang cukup baik sehingga ini menandakan bahwa permintaan barang dan jasa dari masyarakat masih terjadi.
Baca Juga: Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Tahun Ini Jadi 2,9%
Namun menurutnya, risiko pusat klasik bukan tidak mungkin tidak terjadi di Indonesia apalagi jika muara krisis geopolitik dan pangan berdampak lebih masif dibandingkan pada kondisi saat ini.