kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Pemotongan Manfaat BPJS Berisiko Putus Terapi Anak Berkebutuhan Khusus


Kamis, 13 Juni 2024 / 20:04 WIB
Pemotongan Manfaat BPJS Berisiko Putus Terapi Anak Berkebutuhan Khusus
ILUSTRASI. Warga mengurus layanan kesehatan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (6/10/2023). BPJS Kesehatan menyebut hingga 1 Oktober 2023 cakupan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 264 juta jiwa. ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Adanya keluhan peserta BPJS Kesehatan tidak lagi mendapat klaim atas layanan kesehatan yang biasa didapatkan sudah kerap terjadi. Kali ini mengenai standarisasi layanan rehabilitasi medik. Keluhannya, biaya terapi rehabilitasi medik bagi ABK yang terdiagnosa developmental disorder of speech an laguage unspecified yang berusia di atas tujuh tahun tidak lagi bisa diklaim. Sehingga, orangtua harus membayar sebesar Rp 130.000 perpertemuan.

Edy Wuryanto, Anggota Komisi IX DPR RI mengungkapkan, pihaknya sering mendapatkan keluhan terkait layanan BPJS Kesehatan. Yang terang, dalam kasus tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa biaya ini bisa menjadi beban bagi orangtua ABK. "Sehingga, dapat menghambat proses terapi, bahkan berisiko putus terapi. Hal ini perlu menjadi pertimbangan," katanya kepada KONTAN, Kamis (13/6).

Selanjutnya, Edy menerangkan, masalah klasik dalam sebuah kebijakan baru adalah terkait pelibatan masyarakat dan sosialisasi. Tenaga medis atau rumah sakit yang akhirnya kebagian jatah untuk melakukan sosialisasi. Dalam kasus ini, pihaknya sudah mendapatkan informasi bahwa anak dengn developmental disorder of speech a language unspecified yang berusia tujuh tahun dianggap sudah bisa sekolah di sekolah khusus dan mendapatkan terapi di sini.

Lalu, akan dievaluasi setelah usianya 10 tahun. Boleh jadi, kebijakan ini muncul karena anak dianggap akan mendapatkan latihan selama sekolah tersebut. Namun pihak Komisi IX DPR tetap berharap ke depan sebelum perubahan kebijakan, ada sosialisasi sebelum kebijakan itu dijalankan. Misalnya, alasan dan tujuan anak usia tujuh tahun tidak mendapatkan jaminan dari BPJS Kesehatan saat melakukan terapi.

BPJS Kesehatan sering menyatakan bahwa dipotongnya layanan kesehatan bukan kebijakan BPJS Kesehatan langsung. Sebab ini sesuai dengan standar masing-masing spesialis. Dalam hal ini untuk layanan rehabilitasi medik berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (Perdosri). "Tapi BPJS Kesehatan seharusnya menyadari bahwa pemotongan manfaat layanan kesehatan ini berpotensi juga mengurangi kepesertaan atau menambah peserta tidak aktif. Untuk itu, menjadi pekerjaan rumah bagi BPJS Kesehatan untuk mempertahankan layanan kesehatan dan sekaligus menjaga cash flow," terang politisi dari PDI Perjuangan ini.

Pelanggaran Udang-Undang
Sejatinya, adanya pembatasan rehabilitasi medis bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) berusia tujuh tahun merupakan pelanggaran Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (1) huruf b angka 7 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), serta publikasi BPJS Kesehatan. "Saya meminta BPJS Kesehatan dan Perdosri mematuhi ketentuan yuridis tersebut di atas, sehingga ABK tetap mendapatkan layanan rehabilitasi medis," katanya kepada KONTAN, Kamis (13/6).

Menurut dia, alasan anggaran tidak serta merta melakukan pemotongan pelayanan, terlebih menyangkut kepentingan masa depan anak lantaran hakekatnya JKN adalah semangat gotong royong. "Jangan karena alasan biaya maka pelayanan kepada ABK terhenti. Bahwa dengan bergotong royong melalui iuran peserta JKN maka ABK tetap dapat layanan," tandasnya.

Menurut Timbol, Pasal 22 ayat (1) UU SJSN, menyebutkan manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Selanjutnya, Pasal 47 ayat (1) huruf b angka 7 Perpres No. 59/2024 mengamanatkan pelayanan kesehatan yang dijamin pada pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan meliputi pelayanan kesehatan yang mencakup rehabilitasi medis.

Pada publikasi yang dilakukan BPJS Kesehatan tentang syarat dan prosedur layanan BPJS pada Klinik Tumbuh Kembang Anak, disebutkan untuk bisa mendapatkan layanan pada klinik tumbuh kembang anak, orang tua harus memenuhi syarat dan menjalankan beberapa prosedur berikut ini, salah satunya usia anak maksimal 14 tahun. Tentunya, ketentuan yuridis di UU SJSN dan Perpres No. 59/2024 menjadi rujukan pelayanan JKN berupa pelayanan rehabilitas medis kepada peserta ABK. Namun, ketentuan yuridis tersebut tidak dijalankan kepada ABK dengan alasan sudah berusia tujuh tahun. Padahal, ketentuan BPJS Kesehatan yang dipublikasi menyatakan usia anak maksimal 14 tahun.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa terkait iuran atau pelayanan BPJS Kesehatan masih mengacu pada Permenkes Nomor 3 Tahun 2023. Artinya, belum ada perubahan kebijakan mengenai pelayanan dan iuran BPJS Kesehatan. "Di aturan yang dibuat Kemenkes terkait tarif JKN ada di Permenkes No.3/2023," ujarnya kepada KONTAN. Adapun soal adanya pemotongan manfaat pelayanan bagi pasien ABK yang berusia tujuh tahun, untuk lebih lanjutnya menjadi kewenangan BPJS Kesehatan. "Coba tanyakan ke BPJS," tadasnya.

Gerald, Kepala Bagian Penjaminan Manfaat dan Utilisasi BPJS Kesehatan kembali menegaskan jika pemotongan manfaat pelayanan bagi ABK yang sudah berusaia tujuh bukan kebijakan BPJS Kesehatan melainkan merujuk pada pedoman yang dikeluarkan Perdosri. "Terkait hal ini, kami mengikuti aturan yang ada (pedoman dari Perdosri," jelasnya.

Untuk diketahui, sebelumnya tidak ada kebijakan pembatasan usia untuk rehabilitasi medik seperti terapi okupasi dan terapi wicara bagi ABK. Ketentuan ini mulai disosialisaikan oleh pihak rumah sakit pekan ini. "Kami mendapat pemberitahuan dari terapis jika terapi ABK yang sudah berusia tujuh tahun tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan," sebut Melani, orangtua ABK kepada KONTAN, Rabu (12/6).

Menurut dia, informasi tersebut membuat resah para orangtua. Pasalnya, akan semakin menambah berat biaya kebutuhan terapi ABK yang cukup banyak. Adapun informasi yang disampaikan pihak rumah sakit tersebut setelah ada surat pernyataan dari Perdosri tentang Standarisasi Pelayanan Tim Rehabilitasi Medik Terpadu. "Lantaran masih simpang siur, kami mohon kejelasan dan alasan pembatasan pelayanan terapi bagi ABK," pinta Melani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×