Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
Masalahnya, proposal yang diajukan oleh OECD terkait PPh digital dalam upaya menjamin konsensus juga tidak sepenuhnya disambut baik oleh tiap negara. “Pesimisme terwujudnya konsensus juga mendorong aksi sepihak dari berbagai negara dlm mengenakan PPh atas raksasa digital. Contohnya adalah yang diambil oleh Prancis dan Inggris,” kata Darussalam.
Dalam konteks ini, aksi sepihak tentu berpotensi mengundang aksi balasan.
Yang teranyar, wacana perang tarif akan terjadi. Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan meningkatkan tarif impor atas mobil Inggris, bila negara tersebut menarik PPh atas perushaan digital AS pada 20 April 2020 mendatang.
DDTC mencatat bahwa hingga saat ini AS juga tidak memberikan posisi yang jelas atas proposal OECD, tapi lebih berpegang pada kepentingan nasional AS. Sebagai contoh, ini terlihat dari skema Base Erosion Anti Tax Abuse yaitu kewajiban pajak minimum bagi perusahaan, multinasional AS dalam rangka mencegah penggerusan basis pajak.
Baca Juga: Macron dan Trump sepakat bekerjasama menghindari kenaikan tarif pajak digital
Untuk konteks Indonesia, Darussalam memahami persoalan ini tidak hanya soal teknis mengejar PPh digital tapi juga interaksi kepentingan politik antarnegara. “Dewasa ini politik AS lebih berdiri di atas kepentingan nasional dan bukan berorientasi pada tataran global yang lebih adil,” ujarnya.
Namun demikian, Darussalam mengimbau Indonesia pada dasarnya tidak perlu ragu untuk menarik PPh atas perusahaan digital. Karenanya tren kesepakatan global juga lebih berpihak bagi negara-negara pasar.
“Indonesia perlu menyuarakan suara negara pasar dan negara berkembang agar konsensus cepat tercapai dan tetap berpihak bagi alokasi hak pemajakan serta alokasi laba yang lebih adil,” tegas Darussalam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News