Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki risiko tinggi dalam kerugian akibat bencana, baik bencana alam maupun non-alam. Namun kemampuan pemerintah dalam menyediakan pembiayaan untuk bencana dengan dampak yang besar cenderung terbatas.
Hal ini mendorong pemerintah untuk menyusun Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) dengan Pooling Fund Bencana (PFB) sebagai instrumen utamanya.
PFB merupakan dana bersama penanggulangan bencana yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021, dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Skema PFB mengumpulkan dana dari berbagai sumber untuk dikembangkan dan disalurkan dalam program penanggulangan bencana. Baik tahap pra bencana, darurat bencana dan pasca bencana termasuk transfer risiko melalui mekanisme asuransi guna mengurangi dampak kerugian ekonomi akibat bencana baik di level pemerintah pusat maupun daerah.
Baca Juga: Sri Mulyani: Bencana Alam Domino Efeknya Menjadi Bencana Keuangan
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengungkapkan strategi PARB telah mentransformasi pembiayaan risiko bencana, dari yang sebelumnya bergantung penuh pada APBN/APBD dan bersifat reaktif menjadi lebih proaktif melalui bauran instrumen pembiayaan.
"Kapasitas pendanaan bencana dapat ditingkatkan secara berkelanjutan dan inovatif. Pengumpulan dana juga melibatkan sumber-sumber pendanaan lainnya, seperti donor internasional dalam bentuk hibah dan dana perwalian. Dengan strategi PARB Pemerintah dapat lebih siap menghadapi risiko bencana yang terus meningkat." ujar Wahyu Utomo dalam keterangan resminya, Kamis (10/10).
Sejalan dengan itu, Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB, Agus Wibowo berharap PFB dapat menjadi mekanisme pembiayaan inovatif yang berkelanjutan. Hal ini merupakan solusi yang ditawarkan Pemerintah untuk menciptakan dana bersama yang dapat diandalkan dalam menghadapi bencana besar di masa depan.
“Melalui skema Pooling Fund Bencana, Pemerintah Pusat dan Daerah dapat menyisihkan dana secara yang kemudian diinvestasikan dalam berbagai instrumen keuangan," katanya.
Menyikapi situasi saat ini, Agus juga menyebutkan pembiayaan penanggulangan bencana perlu direncanakan secara terpadu.
Oleh karena itu, PFB dapat mendukung pengurangan risiko bencana secara komprehensif dan terstruktur. Kejadian bencana di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan iklim dunia maupun fenomena alam yang berujung pada bencana. Kejadian bencana tersebut berdampak besar pada besarnya kerugian material dan sosial yang ditanggung pemerintah dan masyarakat.
Baca Juga: Dana Penanggulangan Bersama Bencana Alam Sudah Terkumpul Rp 7,4 Triliun
Sementara itu, Direktur Penyaluran Dana BPDLH, Damayanti Ratunada menyampaikan, PFB tidak hanya memberikan pendanaan kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, tetapi juga memungkinkan komunitas masyarakat untuk mengajukan proposal pembiayaan kegiatan penanggulangan bencana melalui Pemerintah Daerah.
Namun demikian, proposal dari komunitas masyarakat nantinya membutuhkan verifikasi dan validasi dari pemerintah daerah.
“Partisipasi pemerintah daerah dalam PFB bukanlah beban, melainkan wujud komitmen bersama untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan ketangguhan menghadapi bencana,” ucap Damayanti.
Adapun PFB telah memasuki tahap operasionalisasi dengan dana awal sebesar Rp 7,3 triliun pada tahun 2023. Saat ini, regulasi teknis sedang disusun untuk mendukung pengumpulan, pengembangan, dan penyaluran dana PFB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News