Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia berharap bisa mulai menerapkan Pilar Dua Perpajakan Internasional pada 2025 mendatang. Hal ini guna mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi yang semakin pesat.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat mendorong pemerintah untuk bisa menyesuaikan diri dengan skema aturan yang ada, supaya wacana pajak minimum global melalui skema Global Anti Base Erotion (GloBe) yang akan dikenakan tidak kontra produktif.
Pertama, pada saat pajak minimum global benar-benar dilakukan maka hal ini akan membatasi ruang insentif pajak bagi negara berkembang seperti Indonesia. Ariawan bilang, pemerintah dalam hal ini Kementerian Investasi/BKPM akan cenderung kesulitan menarik investasi.
Hal tersebut juga harus dibarengi dengan kebijakan insentif lain yang bisa menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
"Selama ini iming-iming investasi pemerintah kan rata-rata terkait pajak dengan berbagai skema, seperti tax holiday, tax allowance dan reduce rate," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Selasa (31/10).
Baca Juga: Ini Pesan Sri Mulyani Ke Menteri Keuangan Selanjutnya
Untuk itu, pemerintah perlu membuat strategi keputusan investasi yang masuk tidak lagi soal rendahnya tarif pajak, melainkan ada daya tarik yang lain yang ditawarkan.
"Ini masih banyak ruang yang bisa dibenahi. Semisal kepastian hukum, tenaga kerja yang kompetitif dengan negara lain. Artinya, jika penerapan GloBe tidak mereduksi investasi kita maka pendapatan pajak tentu bisa dijaga," katanya.
Ia bilang, berdasarkan laporan World Investment Report 2023, Indonesia merupakan negara dengan nilai investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) termasuk tertinggi Asia Tenggara pada 2022. Salah satunya lantaran adanya insentif pajak yang diberikan.
Kedua, pengaruh penerimaan pajak juga akan bergantung kepada komitmen dari negara-negara dan yurisdiksi anggota Inclusive Framework dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) OECD yang telah sepakat untuk bisa menjalankan pajak global itu.
Memang, penerapan pajak ini diharapkan mampu menimalisasi penghindaran pajak melalui BEPS, kemudian akan menyeragamkan disparitas tarif pajak di berbagai negara.
"Satu-satunya sudah jelas menguntungkan adalah jika Indonesia bisa tetap mempertahankan perusahaan multinasional bagian dari OECD Inclusive Framework, seperti Google dan lainnya tetap berada di yuridksi pajak Indonesia maka besaran tarif pajak minimum korporasi global sebesar 15 ini akan menambah pundi-pundi penerimaan pajak," terangnya.
Baca Juga: Kemenkeu Catat Realisasi Belanja Barang dan Bantuan Sosial Menurun pada September
Oleh karena itu, perumusan yang tepat mengenai implementasi Pilar Dua Pajak Global menjadi sangat penting agar Indonesia memperoleh pundi-pundi penerimaan pajak dari perusahaan multinasional serta investasi yang masuk ke Indonesia tetap moncer.
Sebagai informasi, Pilar Dua: Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) adalah rencana penerapan pajak minimum bagi perusahaan global yang beroperasi di setiap negara untuk menciptakan rasa keadilan.
Kriterianya adalah perusahaan yang punya omzet bisnis setahun minimal € 750 juta. Perusahaan tersebut bakal terkena pajak internasional yang sama di setiap negara yakni minimal 15%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News