Reporter: Irma Yani | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pemerintah terus berupaya menjaga ketersediaan pasokan pangan untuk kebutuhan dalam negeri. “Dalam jangka pendek ini, kita terus berkoordinasi mengamankan ketersediaan bahan pangan hingga Kuartal I,” kata Deputi bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Endah Murniningtyas, Kamis (3/3).
Langkah tersebut penting dilakukan menyikapi persoalan ketahanan pangan yang tidak bisa dipastikan lantaran bergeraknya harga komoditi primer dunia belakangan ini. Meskipun yang meningkat bukan harga beras atau padi, namun hubungan antar komoditi cukup berperan penting mendongkrak naiknya harga komoditi lainnya.
Terlebih, ia mengakui, di tengah kondisi gejolak pangan saat ini, tentu ada reaksi dari negara-negara produsen pangan. “Misalnya Vietnam dan Thailand mungkin akan menahan untuk ekspor padi. Maka kita perlu upaya khusus dan sudah kita susun untuk upaya jangka pendek,” terangnya.
Pemerintah khususnya menjaga pasokan beras agar sesuai dengan target. Musim panen raya yang diyakini sudah di depan mata, diharapkan dapat mendorong ketersediaan pangan untuk kebutuhan dalam negeri.
Ia mengatakan, 60% produksi padi terjadi dalam kurun waktu Oktober-Maret tiap tahunnya. Namun, belum maksimalnya produksi padi pada beberapa bulan belakangan ini, diklaim lantaran anomali iklim yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Meski demikian, pemerintah berupaya memaksimalkan produksi pangan nasional. Menurutnya, standar Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan, standar produksi dalam negeri idealnya 90% dari kebutuhan. Sementara pemerintah mematok target yang lebih tinggi dibanding standar yang ditetapkan FAO.
“Dalam RPJMN minimal 95%, sehingga kebijakan impor cuma untuk keadaan darurat saja,” katanya.
Namun Endah menegaskan bahwa pemerintah pun menargetkan setiap tahun angka produksi pangan selalu meningkat 5%. Meskipun aspek produksi termasuk salah satu dari unsur ketahanan pangan, amannya produksi dalam negeri memberikan jaminan akan ketahanan pangan.
Menurutnya, dua unsur lain dalam ketahanan pangan antara lain distribusi dan kemudahan akses distribusi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Henny Sri Hartati melihat, langkah pemerintah menetapkan pembebasan bea masuk untuk 57 komoditi pangan, dinilai sebagai langkah yang kurang masuk akal untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri.
Sebab, Indonesia sebagai negara agraris seharusnya memiliki kecukupan bahkan berlebih untuk produksi pangan bagi kebutuhan dalam negeri.
Menurutnya, alasan yang digunakan pemerintah untuk membebaskan bea masuk tidak bisa diterima. Alasannya, pemberlakuan bea masuk impor untuk komoditi pangan strategis masih dibenarkan dalam kerangka aturan WTO.
Kebijakan membebaskan bea masuk impor seharusnya hanya dilakukan dalam kondisi mendesak. “Akhirnya, kebijakan ini dimanfaatkan oleh para spekulan dan importer untuk mengambil keuntungan mendapatkan harga murah dari petani Indonesia,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News