Reporter: Handoyo | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Indonesia dinilai masih kurang bertenaga memproteksi produk lokal dari barang-barang impor. Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Harjanto mengakui, selama ini dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia memiliki perlindungan perdagangan atau trade remedies yang lebih sedikit.
Untuk Anti-dumping misalnya, Indonesia hanya menerapkan terhadap 48 jenis produk. Padahal di negara-negara maju seperti Uni Eropa jumlahnya dapat mencapai 287 produk, Amerika Serikat 229 produk, Cina 101 produk dan India 280 produk.
Dia berharap, kalangan pengusaha yang merasa dirugikan dalam perdagangan internasional, melaporkan dan memberikan masukan terhadap pemerintah.
"Kami harus fair. Kita tidak dapat begitu saja menerapkan perlindungan perdagangan. Harus ada pembuktian dari pengusaha sendiri," kata Harjanto, Kamis (22/12).
Di luar instrumen perlindungan perdagangan tersebut, saat ini Kemperin tengah menkaji kebijakan Non-Tariff Measures (NTM). Antara lain, Minimum Import Price (MIP) dan Price Compensation Measure (PCM).
Untuk MIP, produk impor yang masuk ke suatu negara harus mengikuti batas kewajaran harga yang berlaku. Skema ini sudah diterapkan di India. Sementara PCM, penerapannya berdasarkan kebutuhan produk. Sehingga, walau dalam dalam perjanjian perdagangan suatu produk bea masuknya 0%, namun dapat dikenakan bea tambahan bila jumlah impornya melebihi kebutuhan negara tersebut.
Saat ini, pembahasan terhadap beberapa skema perlindungan perdagangan tersebut tengah digodok di Kemperin melibatkan beberapa pemangku kepentingan dari akademisi. "Antar kementerian belum, masih dalam kajian internal dahulu," kata Harjanto.
Ketua Komite Tetap Kadin bidang Kerjasama Perdagangan Ratna Sari Loppies mengatakan, selama ini banyak sekali produk Indonesia yang pasarkan ke luar negeri terbentur dengan kebijakan perlindungan dari negara tujuan.
Kalangan pengusaha mendorong agar pemerintah menggunakan pola perlindungan perdagangan yang ada di Organisasi Perdagangan Internasional atau World Trade Organization (WTO). "Lebih baik menggunakan skema yang ada di WTO, sehingga tidak menyalahi aturan," kata Ratna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News