Reporter: Hans Henricus | Editor: Edy Can
JAKARTA. Rapat kerja RAPBNP 2012 mulai menghangat saat membahas subsidi energi. Sebab, pemerintah meminta penambahan jatah subsidi listrik.
Padahal, pemerintah dan komisi VII DPR yang membidani masalah energi telah sepakat menambah subsidi listrik hanya sebesar Rp 24,52 triliun. Sehingga hasilnya subsidi listrik naik dari Rp 40,45 triliun dalam APBN 2012 menjadi Rp 64,97 dalam RAPBNP 2012.
Pemerintah beralasan, subsidi listrik yang disepakati dengan Komisi VII DPR masih kurang. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan, nilai anggaran subsidi listrik tersebut berisiko terhadap PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun stabilitas ekonomi. "Saya pikir relevan karena yang kita hadapi bukan sekedar listrik padam atau kualitas listrik yang tidak bagus, yang kita hadapi adalah risiko sampai ke ekonomi makro," ujar Bambang Brodjonegoro dalam rapat kerja di badan anggaran DPR, Selasa malam (20/3).
Direktur utama PLN Nur Pamudji menjelaskan ada dua risiko jika tetap memakai subsidi listrik hasil kesepakatan dengan Komisi VII DPR. Pertama, penerimaan PLN berasal dari pembayaran pelanggan listrik dan subsidi pemerintah yang total keduanya mencapai Rp 205 triliun tahun ini. Sedangkan, biaya operasional tahun 2012 sebesar Rp197 triliun. Alhasil, dana tunai yang tersisa pada PLN dari hasil penerimaan dikurangi biaya operasional adalah sekitar Rp 6,23 triliun.
Cuma, PLN memiliki kewajiban melunasi pembayaran utang sebesar Rp18,47 triliun. Jadi, kata Nur, kesimpulannya adalah PLN default atau tidak mampu membayar utang yang wajib dibayar tahun 2012 ini. "Kalau PLN default maka pemerintah akan terpengaruh karena dampaknya kepada surat utang negara. Ini dampaknya sangat serius kepada perekonomian, baik PLN maupun negara," imbuhnya.
Kedua, dampak terhadap kegiatan operasional PLN. Menurut Nur, jika memakai angka subsidi hasil kesepakatan pemerintah dan DPR maka PLN terpaksa memangkas biaya operasional agar bisa melunasi utang Rp 18,47 triliun itu.
Jika mengurangi biaya operasional, maka PLN hanya bisa menjual listrik sebesar 155 tera watt/hour selama 2012 atau lebih kecil dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 158 terawatt/hour. Oleh sebab itu, Nur meminta sebaiknya tambahan subsidi listrik 2012 kembali ke angka dalam nota keuangan RAPBN-P 2012 sebesar Rp 49,1 triliun sehingga PLN bisa leluasa investasi dan membiayai kegiatan operasional.
Permintaan tambahan subsidi listrik itu menuai kritik lantaran. Anggota Badan Anggaran DPR Johny Allen Marbun menilai pemerintah dan PLN tidak sinkron dalam menyikapi kesepakatan nilai tambahan subsidi listrik. "Seharusnya ada statement pemerintah bahwa telah terjadi salah paham dalam memberikan tugas kepada PLN," kata politisi partai Demokrat itu.
Idris Laena, Anggota Badan Anggaran lainnya meminta PLN tidak membeberkan masalah kinerjanya dalam rapat kerja di Badan Anggaran. Alasannya, tidak boleh mengaitkan pembahasan subsidi listrik dengan kinerja PLN sebagai korporasi.
Sebab, masalah kinerja korporasi PLN hanya dibahas di komisi VI yang membidangi BUMN. "Kalau korporasi nanti urusannya dengan kami," ujar politisi Golkar itu.
Ketua badan anggaran, Melchias Markus Mekeng menegaskan Badan Anggaran tidak memutuskan apapun terhadap permintaan tambahan subsidi listrik. Dia mengatakan, pemerintah harus berinisiatif mengajukan pembahasan kembali tambahan subsidi listrik lewat dua opsi.
Pertama, membahas kembali bersama komisi VII. Kedua, menggelar pertemuan antara pimpinan DPR, pimpinan komisi VII, pimpinan badan anggaran, dengan Menteri Keuangan dan Menteri ESDM.
Bambang Brodjonegoro bilang, pemerintah akan menempuh opsi kedua untuk membahas masalah subsidi listrik ini. "Supaya anggaran menjadi lebih berkualitas, kredibel dan itu adalah karya bersama," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News