kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah klaim carbon pricing dan pajak karbon bisa tingkatkan investasi


Selasa, 02 November 2021 / 19:56 WIB
Pemerintah klaim carbon pricing dan pajak karbon bisa tingkatkan investasi
ILUSTRASI. Indonesia's President Joko Widodo speaks at a meeting during the UN Climate Change Conference (COP26) in Glasgow, Scotland, Britain, November 2, 2021. Pemerintah klaim carbon pricing dan pajak karbon bisa tingkatkan investasi.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah berupaya untuk menekan emisi karbon melalui berbagai kebijakan, seperti carbon pricing dan pajak karbon. Selain mengurangi dampak pemanasan global, langkah ini dipercayai dapat meningkatkan iklim investasi. Dus harapannya ekonomi bisa terakselerasi. 

Teranyar, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan pemerintah telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (KEK) atau carbon pricing. Ia mengklaim cara ini menjadikan Indonesia sebagai penggerak pertama penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. 

Melalui carbon pricing, pemerintah berambisi dapat menurunkan misi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. 

Baca Juga: COP26 momentum Indonesia jadi negara destinasi Green Investment

Bahkan pada dokumen update NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menjelaskan dalam Perpres tersebut mengatur, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan.

Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment/RBP. 

“Instrumen NEK ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Febrio, Selasa (2/11).

Baca Juga: Harga batubara melambung, sejumlah perusahaan tambang tetap fokus hilirisasi

Sementara itu, Febrio mengatakan untuk mendukung pencapaian target NDC, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal termasuk pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One dan Green Climate Fund (GCF).

Secara pararel dengan carbin procing, pemerintah segera mengimplementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang akan dimulai pada 1 April 2022. 

Pungutan pajak baru ini  dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Pajak karbon nantinya akan diterapkan kepada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax). 

Tarif pajak karbon diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan, sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.

Febrio mengatakan implementasi tersebut telah menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura dan juga sebagai salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.

“Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur. Industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan,” kata Febrio. 

Proyeksi Febrio, industri kendaraan listrik, sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin akan menjadi pendongkrak ekonomi dan mampu memberikan nilai tambah bagi Indonesia serta menyerap tenaga kerja yang berkeahlian tinggi.

Baca Juga: Genjot energi hijau, porsi pembangkit EBT capai 51,6% di RUPTL 2021-2030

Voluntary market untuk pasar karbon sudah terjadi dan saat ini sedang dilakukan pilot project di BUMN kita seperti PLN dan sedang dibangun pasar karbon antar BUMN yang surplus dan defisit carbon credit. Diharapkan langkah awal ini dapat menjadi bibit untuk pengembangan pasar karbon secara menyeluruh,” tambah Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Makro Ekonomi dan Kebijakan Fiskal Masyita Crystallin.

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryadi Sasmita mengatakan erkait pengaturan tentang pajak karbon, pihak mendorong agar pemerintah segera menyusun peta jalan. 

Menurutnya, road map tersebut harus betul-betul memperhatikan perkembangan pasar karbon, target pencapaian NDC, dan kesiapan sektor dan kondisi perekonomian. 

“Agar tetap menjaga daya saing industri Indonesia, penciptaan lapangan kerja dan disatu sisi juga mengurangi efek gas rumah kaca dan menjaga iklim bumi, yang akan diwariskan kepada generasi masa mendatang,” ujarnya.

Selanjutnya: Porsi pembangkit baru EBT mencapai 51,6%, RUPTL 2021-2030 disebut yang paling hijau

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×