Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Pungutan pajak baru ini dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Pajak karbon nantinya akan diterapkan kepada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax).
Tarif pajak karbon diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan, sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.
Febrio mengatakan implementasi tersebut telah menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura dan juga sebagai salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.
“Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur. Industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan,” kata Febrio.
Proyeksi Febrio, industri kendaraan listrik, sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin akan menjadi pendongkrak ekonomi dan mampu memberikan nilai tambah bagi Indonesia serta menyerap tenaga kerja yang berkeahlian tinggi.
Baca Juga: Genjot energi hijau, porsi pembangkit EBT capai 51,6% di RUPTL 2021-2030
“Voluntary market untuk pasar karbon sudah terjadi dan saat ini sedang dilakukan pilot project di BUMN kita seperti PLN dan sedang dibangun pasar karbon antar BUMN yang surplus dan defisit carbon credit. Diharapkan langkah awal ini dapat menjadi bibit untuk pengembangan pasar karbon secara menyeluruh,” tambah Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Makro Ekonomi dan Kebijakan Fiskal Masyita Crystallin.
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryadi Sasmita mengatakan erkait pengaturan tentang pajak karbon, pihak mendorong agar pemerintah segera menyusun peta jalan.
Menurutnya, road map tersebut harus betul-betul memperhatikan perkembangan pasar karbon, target pencapaian NDC, dan kesiapan sektor dan kondisi perekonomian.
“Agar tetap menjaga daya saing industri Indonesia, penciptaan lapangan kerja dan disatu sisi juga mengurangi efek gas rumah kaca dan menjaga iklim bumi, yang akan diwariskan kepada generasi masa mendatang,” ujarnya.
Selanjutnya: Porsi pembangkit baru EBT mencapai 51,6%, RUPTL 2021-2030 disebut yang paling hijau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News