kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah janjikan stimulus pengkreditan untuk non-PKP


Senin, 23 Desember 2019 / 16:18 WIB
Pemerintah janjikan stimulus pengkreditan untuk non-PKP
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama. Pemerintah janjikan stimulus pengkreditan untuk non-PKP


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah gencar menebar insentif pajak. Seperti menjanjikan memberikan pengkreditan untuk Pajak Masukan (PM) badan usaha non-Pengusaha Kena Pajak (PKP) pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JPK) dari besaran Peninjauan Kembali (PK).

Beleid tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi atawa Omnibus Law Perpajakan. 

Baca Juga: Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) andalkan pos penerimaan dari kementerian/lembaga

Ketentuan tersebut merupakan moderasi atas Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini di mana mengatur PM atas pembelian BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP tidak dapat dikreditkan. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, aturan dalam UU PPN itu cukup memberatkan pengusaha. Oleh karena itu, akan diubah bahwa PM sebelum dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan dengan deemed PM sebesar 80% dari nilai PK. 

“Tujuannya untuk mendorong pengusaha menjadi lebih patuh tanpa harus menerapkan sanksi yang terlalu berat,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, dari sisi pengusaha, stimulus tersebut merupakan sesuatu yang menguntungkan, karena risiko buat perusahaan belum PKP menjadi rendah.

Baca Juga: Ada investasi Rp 175 triliun di Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

Namun, Ajib menilai konsekuensi atas beleid tersebut akan berdampak pada penerimaan, karena kebijakan ini akan kontraproduktif dengan upaya peningkatan tax compliance.

“Kebijakan ini bagus dan menguntungkan wajib pajak, tapi kontraproduktif terhadap upaya pemerintah dalam upaya peningkatan tax compliance,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).

Di sisi lain, spirit yang ingin dibangun dengan adanya aturan perpajakan selama ini adalah peningkatan tingkat kesadaran pembayaran pajak. Setali tiga uang, kata Ajib dengan adanya kebijakan ini, maka justru non-PKP akan cenderung tidak mau menjadi PKP, karena resiko saat ini sudah rendah. 

“Toh, ketika suatu saat ketahuan dan diperiksa pajak, faktur pajak masukannya tetap bisa diakui, walaupun 80%,” ujar Ajib.

Baca Juga: Sapi Perahan Baru Setoran Cukai

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan stimulus atas pengkreditan bagi non-PKP akan memperbaiki cash flow perusahaan di tengah melemahnya kinerja korporasi belakangan ini. Secara makna yang terkandung adalah menciptakan keadilan bagi perusahaan non-PKP dan PKP.

Sementara itu, Omnibus Law Perpajakan juga memberikan insentif atas pemberlakuan sanksi perpajakan. Dalam RUU tersebut ada empat poin pembahasan sanksi. Pertama, sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan SPT masa.

Saat ini sanksi atas pelanggaran tersebut dikenakan tarif 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayar. Nah, dalam RUU itu besaran tarif sanksi per bulan dihitung dari kalkulasi suku bunga acuan ditambah 5% dibagi dua belas. 

Baca Juga: Penerimaan pajak seret, shortfall pajak diperkirakan mencapai Rp 200 triliun?

Kedua, sanksi bunga atas kekurangan bayar karena penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP) saat ini sebesar 2% per bulan dari pajak kurang bayar. Kelak, besaran tarif sanksi per bulan berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% dibagi dua belas. 

Ketiga, sanksi bagi PKP yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu. RUU Perpajakan mengatur sanksi yang harus dibayarkan sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak. Sebelumnya PKP dikenakan 2% dari dasar pengenaan pajak. 

Baca Juga: Awas, Rekening Jumbo Mulai Ditelisik Pajak

Keempat, sanksi denda bagi pengusaha yang tidak lapor usaha untuk dikukuhkan menjadi PKP. Saat ini, tidak ada sanksi administratif yang mengatur. Nah, di RUU tersebut memberikan sanksi 1% dari dasar pengenaan pajak. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×