Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
“Kebijakan ini bagus dan menguntungkan wajib pajak, tapi kontraproduktif terhadap upaya pemerintah dalam upaya peningkatan tax compliance,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).
Di sisi lain, spirit yang ingin dibangun dengan adanya aturan perpajakan selama ini adalah peningkatan tingkat kesadaran pembayaran pajak. Setali tiga uang, kata Ajib dengan adanya kebijakan ini, maka justru non-PKP akan cenderung tidak mau menjadi PKP, karena resiko saat ini sudah rendah.
“Toh, ketika suatu saat ketahuan dan diperiksa pajak, faktur pajak masukannya tetap bisa diakui, walaupun 80%,” ujar Ajib.
Baca Juga: Sapi Perahan Baru Setoran Cukai
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan stimulus atas pengkreditan bagi non-PKP akan memperbaiki cash flow perusahaan di tengah melemahnya kinerja korporasi belakangan ini. Secara makna yang terkandung adalah menciptakan keadilan bagi perusahaan non-PKP dan PKP.
Sementara itu, Omnibus Law Perpajakan juga memberikan insentif atas pemberlakuan sanksi perpajakan. Dalam RUU tersebut ada empat poin pembahasan sanksi. Pertama, sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan SPT masa.
Saat ini sanksi atas pelanggaran tersebut dikenakan tarif 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayar. Nah, dalam RUU itu besaran tarif sanksi per bulan dihitung dari kalkulasi suku bunga acuan ditambah 5% dibagi dua belas.
Baca Juga: Penerimaan pajak seret, shortfall pajak diperkirakan mencapai Rp 200 triliun?