Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah gencar menebar insentif pajak. Seperti menjanjikan memberikan pengkreditan untuk Pajak Masukan (PM) badan usaha non-Pengusaha Kena Pajak (PKP) pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JPK) dari besaran Peninjauan Kembali (PK).
Beleid tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi atawa Omnibus Law Perpajakan.
Baca Juga: Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) andalkan pos penerimaan dari kementerian/lembaga
Ketentuan tersebut merupakan moderasi atas Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini di mana mengatur PM atas pembelian BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP tidak dapat dikreditkan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, aturan dalam UU PPN itu cukup memberatkan pengusaha. Oleh karena itu, akan diubah bahwa PM sebelum dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan dengan deemed PM sebesar 80% dari nilai PK.
“Tujuannya untuk mendorong pengusaha menjadi lebih patuh tanpa harus menerapkan sanksi yang terlalu berat,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, dari sisi pengusaha, stimulus tersebut merupakan sesuatu yang menguntungkan, karena risiko buat perusahaan belum PKP menjadi rendah.
Baca Juga: Ada investasi Rp 175 triliun di Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
Namun, Ajib menilai konsekuensi atas beleid tersebut akan berdampak pada penerimaan, karena kebijakan ini akan kontraproduktif dengan upaya peningkatan tax compliance.