Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mematok rasio perpajakan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2019 yang disampaikan ke DPR sebesar 11,4%-11,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan tax ratio tersebut, pendapatan negara tahun depan diperkirakan mencapai 12,7%-13,5% dari PDB.
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan pendapatan negara tahun 2019 diarahkan untuk mendorong optimalisasi pendapatan negara. Kebijakan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kata dia, akan terus mengedepankan perbaikan dan kemudahan layanan, menjaga iklim investasi yang kondusif, dan keberlanjutan usaha.
Dari sisi perpajakan, arah kebijakan tahun 2019 dilakukan dengan optimalisasi pendapatan negara yang mendukung iklim investasi dan daya saing ekspor. "Serta mendorong peningkatan kepatuhan melalui reformasi administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan transparan," kata Sri Mulyani, Jumat (18/5).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, cukup berat untuk mencapai angka tax ratio yang diinginkan pemerintah tersebut jika strategi yang dilakukan tidak bagus. Sebab, setiap kenaikan 1% dari PDB, artinya ada tambahan Rp 130 triliun.
Menurut Prastowo, strategi yang dilakukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak saat ini adalah melalui extra effort. Logika extra effort lanjut dia, penerimaan pajak mengalami shortfall Rp 200 triliun yang kemudian dicari penambalnya dari mana pun. Tetapi, "berpotensi mendiscourage," kata Prastowo.
Seharusnya, strategi dilakukan melalui tax gap untuk mempersempit gap. Adapun logika tax gap, "Mencakup unregister, non filer, underpayment, dan underreported sehingga sasaran yang pasti adalah yang belum patuh atau di luar sistem," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News