kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah harus memihak siapa soal upah buruh?


Sabtu, 02 November 2013 / 16:45 WIB
Pemerintah harus memihak siapa soal upah buruh?
ILUSTRASI. Ada banyak cara mudah atasi asam lambung, salah satunya dengan tanaman herbal.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Polemik upah minimum provinsi (UMP) terus bergulir meski 12 dari 34 provinsi telah menetapkan UMP. Kalangan buruh terus mendengungkan perlawanan, sedangkan para pengusaha, terutama di DKI Jakarta, dengan berat menerima penetapan UMP meski sebagian dari mereka juga mengancam hengkang jika tuntutan buruh dikabulkan.

Lalu, untuk mengakomodasi kepentingan buruh dan pengusaha, kemanakah pemerintah harus berpihak?

Anggota Komisi IX DPR RI, Indra berpendapat, biaya tenaga kerja (labor cost) tak akan langsung menyebabkan iklim investasi dan usaha merosot.

Ia menyebutkan, berdasarkan data World Bank, penyebab utama penghambat investasi dan bisnis adalah adanya pungutan liar. Artinya, lanjut Indra, jika pemerintah bisa menjamin tak ada pungutan liar (pungli), maka pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dengan tenang di Indonesia. Hal itu, ditengarai juga linier dengan kemudahan berusaha di Indonesia.

"Dari riset World Bank, dari 100 persen biaya produksi perusahaan untuk biaya tenaga kerja sebesar 9-12 persen. Namun faktanya, saat ini dari 19-24 persen biaya produksi perusahaan hanya untuk pungli," kata Indra dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (2/11/2013).

“Kalau pungli bisa terentaskan, uang pungli bisa tumpah ke buruh,” lanjutnya.

Di sisi lain, politisi PKS itu mempertanyakan fungsi pemerintah dalam mengawasi implementasi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Ia menilai pemerintah mandul dalam menindak pengusaha yang tak patuhi aturan ketenagakerjaan, seperti soal sistem alih daya, serta dispensasi penangguhan.

Ia memaparkan, pengusaha yang tak mampu menggaji karyawan sesuai UMP sebenarnya sudah diberikan dispensasi berupa penangguhan, seperti tercantum dalam pasal 92 UU Ketenagakerjaan. Kendati mendapat penangguhan pun, audit perusahaan harus terus berjalan dan tak dibenarkan adanya laporan palsu atas audit tersebut, yang ujung-ujungnya merugikan buruh.

Begitu pula soal sistem alih daya yang diatur dalam pasal 64 dan pasal 65. Sayangnya, lanjut Indra, pemerintah baik pusat dan daerah tak concern dengan kedua hal tersebut.

“Realitasnya banyak pengusaha yang mengabaikan, itu yang terjadi sehingga tidak ada kepastian masa depan (buruh). Pemerintah dengan tupoksinya juga tidak menjalankan perintah UU dengan maksimal,” jelasnya.

“Menurut saya, soal UMP ini pemerintah enggak usah berpihak kemana-mana, tegakkan saja law enforcement,” tambahnya kemudian. (Estu Suryowati/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×