Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serapan tenaga kerja baru dari realisasi investasi yang masuk masih minim. Kementerian Investasi dan Hilirisasi atau Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi sepanjang 2024 mencapai Rp 1.714,2 triliun. Realisasi ini mencapai 103,9% dari target Rp 1.650 triliun, atau meningkat 20,8% secara tahunan alias year on year (yoy).
Dari realisasi investasi tersebut, telah menyerap tenaga kerja sebanyak 2.456.130 orang, atau meningkat 34,7% yoy.
Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pelemahan serapan tenaga kerja tak sebanding dengan nilai realisasi investasi yang masuk seiring dengan berlanjutnya deindustrialisasi prematur.
Baca Juga: Airlangga: Fasilitas Kredit Sektor Padat Karya Diharapkan Dorong Produksi Ekspor UMKM
Di samping itu, meski realisasi investasi tumbuh, tapi kondisi daya beli kelas menengah justru turun. Penyebabnya karena industri padat karya sedang lesu.
“Hal ini tidak bisa dijawab dengan hilirisasi tambang karena dua hal yang berbeda. Antara menyelamatkan Sritex dengan dorong perusahaan asing masuk ke hilirisasi nikel tidak sama,” tutur Bhima kepada Kontan, Jumat (31/1).
Hasil studi Celios menyebutkan bahwa, hilirisasi tambang yang modelnya padat modal, hanya membutuhkan tenaga kerja banyak saat proses konstruksi saja. Sementara itu, pada saat operasional justru tidak menyerap banyak tenaga kerja.
Bhima juga menilai, hilirisasi mineral justru akan berdampak negatif ke sektor pertanian, dan perikanan karena membutuhkan banyak lahan untuk pertambangan serta pencemaran limbahnya.
“Akibatnya hilirisasi tambang mengurangi pendapatan pekerja sektor perikanan dan pertanian,” terangnya.
Oleh karena itu, Bhima menyarankan agar fokus pemerintah saat ini menyelamatkan sektor industri padat karya bahkan lebih penting dibanding mendorong hilirisasi tambang. Sebab, deindustrialisasi prematur harus segera dicegah, karena dinilai berbahaya bagi pengangguran usia muda.
Sejalan dengan itu, Bhima juga menilai, strategi menarik investasi yang memiliki daya dorong ke berbagai sektor, tidak efektif dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran.
Baca Juga: Menakar Efek Pencabutan Kebijakan Kendaraan Listrik AS Terhadap Hilirisasi Nikel
“Industri manufaktur yang punya dampak berganda banyak seperti Apple misalnya dibuat bingung antara sikap Kementerian Perindustrian dan Kementerian Investasi. Akibatnya era perang dagang belum memperlihatkan minat investor relokasi industri yang berdampak luas ke Indonesia terutama dalam hindari kenaikan tarif,” jelasnya.
Sektor Padat Karya yang Bisa Jadi Unggulan
Bhima membeberkan, pemerintah bisa menarik investasi di sektor padat modal seperti pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan. Kemudian industri pakaian jadi, alas kaki, suku cadang kendaraan bermotor hingga perakitan elektronik.
“Daya tariknya investor akan mendekati pasar Indonesia yang punya konsumen usia produktif. Kemudian dari sisi produktivitas per jam sebenarnya Indonesia unggul dibanding Vietnam (data International Labour Organization 2023),” ungkapnya.
Di samping itu, pemerintah juga perlu memperbarui sejumlah kebijakan. Di antaranya, pertama, mempersingkat perizinan industri padat karya. Faktor tersebut, kata Bhima, yang menjadi sumber masalah utama, sehingga investor beralih ke Vietnam.
Kedua, mengalihkan insentif fiskal dari hilirisasi mineral ke industri padat karya termasuk pengurangan tarif PPh badan, bea masuk impor mesin dan lainnya.
Ketiga, memperbaiki sistem pemagangan dan kurikulum sekolah vokasi agar menunjang kebutuhan sdm di sektor padat karya.
Keempat, memberikan insentif berupa diskon tarif listrik dan air hingga 70% untuk investasi padat karya maupun perusahaan existing dengan minimum karyawan 2.000 orang.
Selanjutnya: PT PAL Indonesia Raih Kontrak On-Hand Rp 42,32 triliun
Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (1/2): Cerah hingga Hujan Ringan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News