Sumber: Kompas.com | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) menilai pemerintah terlalu memaksakan penerapan tatanan kenormalan baru atau new normal.
Ketua PSHTN FHUI, Mustafa Fakhri, mengatakan pemerintah tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19. "Menurut saya ini bukan hanya prematur, tapi bayi new normal ini sama saja dengan bayi sungsang yang dipaksakan harus lahir," kata Fakhri kepada Kompas.com, Sabtu (30/5).
Dia menuturkan, hingga saat ini pemerintah belum mencabut peraturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang merujuk pada UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) juga masih berlaku.
"Sebelumnya kan ada PSBB yang berdasar pada UU Kekarantinaan Kesehatan. Lalu di-declare oleh presiden, Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam," ucapnya.
Baca Juga: Simak aturan new normal untuk ASN yang dirilis Kemenpan-RB
"Kedua policy tersebut belum dicabut, sekonyong-konyong ada new normal," imbuh Fakhri. Menurut dia, kenormalan baru dapat disusun dan diterapkan pemerintah ketika tidak ada lagi penambahan kasus positif baru Covid-19.
Itu pun dengan catatan bahwa penerapan kelaziman baru harus dilakukan secara hati-hati. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan yang melahirkan gelombang baru Covid-19. "Macam di Korsel, yang katanya sudah tidak ada kasus, tapi ketika diterapkan new normal, langsung ribuan yang harus isolasi mandiri dan beberapa korban baru positif Covid-19," kata Fakhri.
Baca Juga: Kasus corona Korea Selatan melonjak dari kluster gudang online shop
Fakhri mengakui bahwa sejumlah wilayah, seperti DKI Jakarta, mulai menunjukkan kurva kasus baru Covid-19 melandai. Namun, ia berpandangan masih terlalu dini untuk menganggap hal itu sebagai tanda untuk menerapkan kebijakan kelaziman baru. Sebab, penambahan kasus baru Covid-19 di DKI Jakarta masih terus ada.
Selain itu, masih banyak daerah lain yang membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius. "Daerah luar Jakarta, macam Surabaya, masih mengkhawatirkan. Karena itu, pemerintah pusat seharusnya jauh lebih serius menangani perkara ini. Jangan buat policy yang saling bertabrakan satu sama lain," tegasnya.
New normal disiapkan di 4 provinsi
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut persiapan menuju new normal atau tatanan kehidupan baru saat ini baru diterapkan di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota. Kebijakan ini bisa diperluas jika dirasa efektif untuk membuat masyarakat produktif serta tetap aman dari virus corona. "Ini akan kita lihat dalam satu minggu dampaknya seperti apa, kemudian akan kita lebarkan ke provinsi, kabupaten/kota lain apabila dirasa terdapat perbaikan yang signifikan," kata Jokowi usai meninjau kesiapan prosedur new normal di Mal Summarecon Bekasi, Selasa (26/5).
Empat provinsi yang mulai melakukan persiapan menuju new normal ini yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Barat dan Gorontalo. Persiapan dilakukan dengan menerjunkan personel TNI/Polri di tempat umum atau keramaian.
Baca Juga: Brebes berpeluang jadi tempat relokasi pabrik perusahaan AS dari China
Syarat terapkan new normal sudah dipenuhi?
Salah satu aspek yang diukur bagi daerah untuk dapat menerapkan aktivitas sosial ekonomi pada era kenormalan baru adalah surveilans kesehatan masyarakat. Salah satu indikator yang menunjukkan baiknya surveilans kesehatan masyarakat yakni jumlah pemeriksaan spesimen Covid-19 yang meningkat dan diikuti dengan berkurangnya kasus positif Covid-19.
"Giliran kenaikan pemeriksaannya naik, yang positifnya harus kecil, di bawah 5%,” ujar Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers BNPB, Selasa (26/5).
Aspek berikutnya yakni pelayanan kesehatan. Indikatornya antara lain, jumlah ketersediaan tempat tidur untuk kasus positif baru di rumah sakit, alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis di rumah sakit, serta ventilator. Kemudian, gambaran epidemiologi di suatu wilayah.
Baca Juga: Kota Tegal akan menerapkan new normal mulai 1 Juni
Salah satu indikatornya adalah jika kasus positif Covid-19 turun 50% selama dua pekan berturut-turut. Selain penurunan kasus positif, jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP) juga harus turun selama dua pekan sejak puncak terakhir.
Lalu, jumlah pasien yang sembuh dan jumlah ODP dan PDP yang telah selesai dipantau juga harus meningkat. Sementara, jumlah pasien meninggal dari kasus positif juga harus menurun walaupun tidak ada target angka penurunannya.
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengingatkan pemerintah bahwa pembukaan fasilitas menuju kenormalan baru harus dilakukan bertahap. "Tanpa tahapan, nanti seperti dibuka bersama dari tahap pertama, ya kurang bijaksana dan lebih baik bertahap, kemudian di evaluasi lagi, bertahap dievaluasi lagi," kata Pandu, Rabu (27/5).
Selain bertahap, pembukaan kembali suatu kota yang terdampak Covid-19 atau pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus memperhatikan beberapa indikator, seperti peningkatan kapasitas tes dan contact tracing serta peningkatan kesadaran menjaga kesehatan diri.
Baca Juga: New normal itu, bisa ambil uang di ATM tanpa kartu, begini langkah-langkahnya
Kemudian, berkurangnya jumlah kasus suspect dan kematian yang diduga akibat Covid-19 dalam kurun waktu paling sedikit 14 hari. Selanjutnya, peningkatan kapasitas ICU, tenaga kesehatan, dan jumlah alat pelindung diri (APD) yang memadai.
Pandu juga mengingatkan kemungkinan terjadinya gelombang kedua wabah virus corona. Ia meminta pemerintah mengantisipasi kemungkinan tersebut. "Yang kita khawatirkan ada lonjakan. Jadi harus siaplah. Kalau mau dibuka boleh, tapi harus ada penilaian apakah sudah memenuhi syarat belum," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Pemerintah Dinilai Terlalu Paksakan Penerapan "New Normal".
Penulis: Tsarina Maharani
Editor: Kristian Erdianto
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News