kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah diminta evaluasi menyeluruh soal pelaksanaan program food estate


Kamis, 22 Juli 2021 / 19:32 WIB
Pemerintah diminta evaluasi menyeluruh soal pelaksanaan program food estate
ILUSTRASI. Sejumlah petani menanam padi jenis Inpari 42 di lahan rawa di areal 'food estate' Dadahup, Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021).


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Badan Pangan Dunia FAO mengingatkan akan potensi terjadinya krisis pangan. Menanggapi adanya ancaman potensi krisis pangan, Indonesia memiliki program lumbung pangan nasional atau food estate.

Food estate sendiri adalah pengembangan pangan yang terintegrasi dengan pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan. Adapun food estate yang sudah berjalan diantaranya ada di tiga kabupaten di Kalimantan Tengah, Humbang Hasundutan di Sumatra Utara dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Khusus rencana food estate di Papua, Bustar Maitar, pendiri dan CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation) memaparkan food estate bukan hal baru di Papua terutama Merauke. 

Mulai dari tahun 1939 hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) program tersebut sudah ada. Bahkan mulai era Orde Baru hingga Presiden SBY program lumbung pangan nasional dipaparkan Bustar mengalami kegagalan.

Baca Juga: Industri alat berat siap mengerek penjualan di semester kedua tahun ini

Bustar mengatakan, kebijakan pangan kaitannya dengan kebijakan tentang stok bukan tentang kedaulatan pangan itu sendiri. Pada tahun 2011 lalu Bustar menyampaikan terdapat informasi di media, ada sekitar 20.000 ton beras Bulog rusak.

"Artinya ini beras yang tidak terdistribusi dengan baik. Kata departemen Pertanian faktor ketahanan pangan atau cadangan pangan terhambat karena faktor distribusi ini kata pemerintah. Juga panen kita kemudian gagal dan sebagainya ini disebabkan oleh perubahan iklim," jelasnya dalam Diskusi Virtual, Kamis (23/7).

Berkaca pada hal tersebut, Bustar menegaskan untuk menanggapi potensi krisis pangan, maka urusan distribusi dan urusan perubahan iklim harus dibereskan terlebih dahulu.

"Kalau kita mau memastikan pangan kita kecukupan ternyata dua ini yang menghambat. Hal lainnya pangan kita sangat terfokus kepada padi atau beras sementara sagu, sorgum, umbi-umbian jagung banyak sekali yang bisa diproduksi secara mandiri oleh masyarakat sumber sumber pangan kita itu banyak," imbuhnya.

Baca Juga: Wamendag minta Indonesia terdepan dalam perdagangan porang

Lebih lanjut Bustar menyebut jika pemerintah memiliki tujuan pengembangan pangan berbasis ketahanan pangan. Disarankan dapat dilakukan pengembangan berbasis perkampungan.

"Kenapa tidak dikembangkan dalam pengembangan pangan berbasis kampung. Dari ribuan kampung ini, kita dorong aja 5 hektar per kampung. Maka ratusan ribu hektar bisa kita garap untuk memenuhi pangan di kampung dan memenuhi pangan nasional," ungkap Bustar.

Lola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut menambahkan, terdapat empat rekomendasi yang dibuat oleh pihaknya terkait pelaksanaan food estate.

Pertama Pemerintah diminta, memperbaiki poin penilaian Indonesia yang masih kurang dalam ketahanan pangan, distribusi, diversity nuitrisi. "Kedua kita mendorong untuk tidak melakukan alih fungsi kawasan hutan dan gambut untuk food estate," kata Lola.

Hal tersebut menilik masih terdapat area eks PLG yang masih rawan terbakar. Dimana hasil Pantau Gambut, menunjukkan bahwa area eks PLG masih menjadi langganan kebakaran tiap tahunnya. Pada 2019 sendiri luas areal terbakar di eks PLG mencapai 167.000 hektar. Meski demikian tahun 2020 diakui terdapat penurunan.

Baca Juga: Pembangunan sistem irigasi dan jalan akses food estate Sumut berlanjut

"Kurangnya kajian ilmiah terhadap geofisik lahan dan tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian, program ini diprediksi tidak akan sustain, justru akan merugikan jadi bumerang kepada kita sendiri dari segi anggaran, lingkungan dan tentunya dalam sosial budaya. Terutama untuk lingkungan, terhadap komitmen Indonesia untuk mengurangi laju iklim global," jelasnya.

Ketiga untuk menjawab potensi krisis pangan, Pemerintah perlu melakukan intensifikasi lahan potensial. Lola menegaskan alih-alih membuka lahan baru, lebih baik dilakukan intensifikasi lahan pertanian dan petani yang sudah ada.

"Petani lahan-lahan mereka itu hanya di bawah 1 hektar, petani kecil jadi butuh upaya untuk membantu mereka juga dalam hal transfer knowledge, teknologi, mungkin juga pupuk," ujarnya. Terakhir Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program food estate yang sudah berjalan.

Selanjutnya: Targetkan penjualan Rp 700 miliar, Bekasi Fajar fokus bidik industri tahan banting

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×