Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini pemerintah sedang menjajaki peluang pinjaman multilateral, untuk mendapat dana tambahan dalam penanganan dampak wabah virus Corona (Covid-19).
Berdasarkan catatan, ada tiga pinjaman asing yang diketahui telah digunakan pemerintah, yaitu dari Bank Dunia (World Bank) untuk pembiayaan APBN 2020 secara umum, serta dari Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IsDB) untuk menanggulangi dampak wabah virus Corona.
Baca Juga: Bank besar China hadapi perangkap dividen di saat pandemi corona
Nilai pinjaman dari masing-masing lembaga tersebut adalah, sebesar US$ 300 juta dari Bank Dunia, senilai US$ 1,5 miliar dari ADB, serta senilai US$ 200 juta-US$ 250 juta dari IsDB. Hanya saja, saat ini estimasi dari IsDB tersebut masih dalam tahap negosiasi.
Selain tiga opsi tersebut, kemungkinan ke depannya opsi yang akan digunakan oleh pemerintah dalam mencari sumber pembiayaan adalah memaksimalkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar dalam negeri.
Menanggapi hal ini, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, pemerintah seharusnya bisa lebih fokus dalam melakukan realokasi anggaran, dibandingkan harus mencari pinjaman atau utang.
"Upaya realokasi anggaran tetap harus lebih prioritas dibanding cari pinjaman atau utang," ujar Eko kepada Kontan.co.id, Rabu (29/4).
Baca Juga: Emiten EBT optimistis opsi pendanaan untuk proyek pembangkit energi hijau melimpah
Eko juga menyoroti mengenai opsi penerbitan SBN di dalam negeri. Menurutnya, penerbitan SBN saat ini sebaiknya dibatasi, apabila pemerintah secara agresif menerbitkan SBN saat ekonomi sedang pesimis seperti saat ini maka imbal hasil yang harus diberikan menjadi mahal.
Selain itu, jika kemudian sebagian besar yang membeli SBN adalah sektor perbankan, maka secara umum sektor riil tidak akan banyak diuntungkan. "Dana hanya berputar di sektor keuangan, tidak tertransmisikan ke sektor riil yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi," papar Eko.
Untuk itu, Eko menyarankan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa bersama-sama melakukan realokasi anggaran. Jika realokasi dijadikan prioritas, maka potensi pemerintah dalam melakukan utang bisa dihindari.
Selain itu, apabila dana belum mencukupi, pemerintah bisa terus melakukan pemangkasan anggaran yang tidak mendesak pada Kementerian/Lembaga (K/L) dengan porsi 20%-30%.
Eko menjelaskan, di luar skenario anggaran ini, masih ada beberapa faktor yang membuat anggaran tidak terserap dengan baik. Misalnya seperti birokrasi yang lambat, data tidak akurat, dan koordinasi yang tidak berjalan dengan optimal.
Baca Juga: Nihilkan peran DPR di APBN, Perppu 1/2020 laiknya cek kosong utak atik anggaran
Akibatnya, faktor ini membuat anggaran sebesar apa pun tidak dapat dieksekusi dengan cepat, sehingga penanganan pun menjadi tidak efektif.
"Jangan sampai telanjur utang, tetapi birokrasi tidak mampu menyerap anggaran," kata Eko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News