kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,95   3,20   0.36%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah andalkan pembiayaan domestik, Chatib Basri ingatkan risiko crowding out


Rabu, 01 April 2020 / 16:39 WIB
Pemerintah andalkan pembiayaan domestik, Chatib Basri ingatkan risiko crowding out
Mantan Menkeu Chatib Basri


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA.  Pemerintah memutuskan menambah anggaran belanja dalam APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang terdampak.

Keputusan ini pun berdampak pada pelebaran defisit anggaran yang diestimasi mencapai 5,07% terhadap PDB Indonesia. Lantas, pemerintah pun perlu menyusun strategi untuk menambal lubang defisit tersebut dengan sumber-sumber pembiayaan tambahan.

Baca Juga: Chatib Basri apresiasi kebijakan stimulus pemerintah yang makin fokus

Ekonom Senior yang juga Mantan Menteri Keuangan RI Chatib Basri memandang, pembiayaan defisit yang demikian besar bukan hal mudah bagi pemerintah.

Jika terlalu menggantungkan diri pada pasar obligasi domestik, Chatib memperingatkan terjadinya risiko crowding out, yaitu kondisi di mana dana perbankan diserap oleh obligasi pemerintah sehingga perbankan mengalami kesulitan likuiditas.

Sebaliknya, jika pemerintah mengeluarkan obligasi global, bunga obligasi yang mesti ditanggung pun sangat tinggi.

Baca Juga: Insentif fiskal tak efektif, eks Menkeu Chatib usul dialihkan untuk progam kesehatan

"Oleh karena itu, untuk pembiayaan pemerintah, saya mengusulkan kombinasi pembiayaan dari pasar domestik , internasional dan juga multilateral,” tulis Chatib dalam cuitan di akun Twitter-nya, Rabu (1/4).

Menkeu era SBY itu pun menoleh pada pengalaman enam tahun lalu di mana pemerintah Indonesia pernah memiliki fasilitas bernama Deffered Draw Down Option (DDO) yaitu di mana jika bunga obligasi di pasar sangat mahal, pemerintah Indonesia dapat meminjam dari World Bank, ADB, Australia, Jepang dengan bunga yang sangat rendah.

Skema ini, menurutnya, perlu dihidupkan kembali agar pemerintah mempunyai akses pembiayaan dengan harga murah.

"Selain itu, kemungkinan untuk dukungan dari AIIB misalnya atau bilateral support dari berbagai negara perlu di buka. Termasuk misalnya bantuan medis, obat, alat dari negara-negara lain,” tuturnya.

Baca Juga: Hingga Februari, defisit APBN 2020 mencapai Rp 62,8 triliun

Di samping itu, Chatib juga menyoroti rencana pemerintah menerbitkan Pandemic Bonds yang membuka peluang bagi Bank Indonesia untuk membeli instrumen obligasi tersebut langsung dari pasar perdana.

Ia memahami keputusan pemerintah terkait penerbitan obligasi khusus tersebut di tengah sulitnya mencari sumber pembiayaan.

Namun, Chatib memperingatkan bahwa pembelian obligasi oleh BI memiliki risiko mengerek inflasi. Chatib tak memungkiri, kondisi yang terjadi saat ini memang sangat mungkin menimbulkan risiko inflasi tersebut.

Baca Juga: Chatib Basri: Social distancing pengaruhi efektivitas kebijakan fiskal

Hanya saja, Chatib menekankan pentingnya fine tunning mengenai besaran obligasi yang akan dibeli BI untuk mengendalikan risiko itu.

“Pemerintah dan BI perlu duduk bersama untuk menentukan berapa inflasi yang memang 'bisa diterima’ sebagai biaya. Sebesar itulah obligasi bisa dibeli oleh BI. Sebab bila size-nya amat besar, maka inflasi akan naik tajam dan juga akan memukul ekonomi kita,” tandas Chatib.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×