Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan total penarikan utang kuartal II-2021 mencapai Rp 323,4 triliun.
Jumlah tersebut terdiri dari surat utang negara (SUN) sebesar Rp 194,6 triliun dengan mengutamakan penerbitan SUN melalui lelang, penerbitan Samurai Bond, dan private placement yang dilakukan dengan tujuan khusus. Kemudian, melalui penerbitan utang melalui surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 108,4 triliun utamanya melalui lelang, dan penerbitan sukuk valas.
Lalu utang yang berasal dari pinjaman ditargetkan sebesar Rp 20,4 triliun. DJPPR menyampaikan pengadaan pinjaman tunai itu berasal dari World Bank, AIIB, KfW dan JICA. Selain itu, sumber pemberi pinjaman dapat berubah sesuai dengan progres negosiasi dan penyiapan dokumentasi.
Pemerintah akan melihat risiko ekonomi makro dan pembiayaan yang cenderung meningkat dalam rangka penerbitan utang pada April hingga Juni 2021. Beberapa fator yang menjadi sentimen antara lain pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat, tensi geopolitik akibat kemungkinan berlanjutnya perang tarif AS dengan China, krisis Myanmar, serta adanya risiko penundaan pemberian vaksin Astrazeneca oleh beberapa Negara.
Baca Juga: Minat dan penerbitan obligasi korporasi semakin meningkat, ini penyebabnya
Tak hanya itu, risiko tersebut akan menimbulkan dampak bagi pasar keuangan dalam negeri yakni, berpotensi meningkatkan yield surat berharga AS. Hal ini akan mendorong penguatan dolar AS dan memberikan tekanan kepada sektor keuangan emerging market.
“Perang tarif dapat memicu instabilitas politik di kawasan dan penundaan pemberian vaksinasi dapat menyebabkan percepatan pemulihan ekonomi jadi terhambat,” terang Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman dalam laporannya yang berjudul Debt Portofolio Review Kuartal I-2021, Selasa (18/5).
Oleh karena itu, untuk memitigasi risiko tersebut dalam jangka pendek hingga menengah, pemerintah akan terus memperkuat pendalaman pasar keuangan dalam negeri.
Selain itu, melakukan koordinasi secara intensif dengan Bank Indonesia untuk menjaga cadangan devisa, ketiga pembatasan impor secara selektif dan pemberian stimulus pada ekspor untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
“Akan mengembangkan pasar ekspor non-tradisional dan melanjutkan program vaksinasi dengan diversifikasi produk vaksin, untuk mengurangi ketergantungan pada satu produsen,” jelas Luky dalam laporannya.
Sementara itu dalam jangka panjang pemerintah juga akan melanjutkan kebijakan pengurangan ketergantungan energi minyak bumi.
Tak hanya itu, DJPPR mencatat juga ada risiko pembiyaan utang yang cenderung meningkat yang disebabkan oleh kenaikan US Treasury dan perbaikan ekonomi AS berpotensi mendorong capital outflow dan memperlemah kurs rupiah.
Baca Juga: Kemenkeu alokasikan anggaran Rp 20 triliun untuk pinjaman pemda
“Di tengah risiko tersebut, maka akan berdampak pada target penerbitan utang 2021 dinilai masih bisa dipenuhi meski berpotensi meningkatkan cost of borrowing” jelas laporan tersebut.
Dengan demikian untuk memitigasi hal tersebut, DJPPR berkomitmen untuk melakukan liability management melalui debt switch dan buyback.
“Memaksimalkan penerbitan SBN pada kuartal III 2021 dan kuartal IV 2021, mengoptimalkan dukungan Bank Indonesia (BI) sebagai standby buyer, dan terus berkoordinasi dengan pemberi pinjaman”tutur laporan tersebut.
Sebagai informasi, total utang yang ditarik pemerintah sepanjang kuartal I 2021 mencapai Rp 414,98 triliun atau 24,3% dari target utang bruto 2021. Utang ini berasal dari SBN sebesar Rp 398 triliun dan penarikan pinjaman mencapai Rp 16 triliun.
Sementara itu, realisasi utang neto hingga kuartal I tercatat Rp 334,77 triliun atau 27,7% dari target utang neto sebesar Rp 1.207,6 triliun.
Selanjutnya: Pemerintah percaya diri ekonomi Indonesia bisa tumbuh 7%, ini kata ekonom
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News