Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
“Beberapa ormas di perkotaan merasa memiliki peran di suatu wilayah. Ketika pengusaha ingin bangun usaha di wilayah itu, mereka harus berhadapan dengan ormas,” katanya yang dalam diskusi daring ini berperan sebagai moderator.
Djaka pun meminta San Afri untuk merespon fenomena itu, mengingat, dalam RPP turunan dari UU Cipta Kerja tersebut, masyarakat dan LSM tetap dilibatkan dalam proses Amdal.
Baca Juga: Penyusun RPP: UU Cipta Kerja tidak turunkan standar penilaian AMDAL
San Afri tidak membantah adanya fenomena itu. Misalnya, saat pemrakarsa menyusun dokumen Amdal dengan melibatkan masyarakat, dalam beberapa kasus, ormas-ormas tertentu itu datang memanfaatkannya. Menurutnya, tidak semua ormas itu demikian. Ada juga ormas yang ideologis dan mereka ini, kata San Afri, harus didengar.
San Afri menegaskan, tujuan dari pelibatan masyarakat yang terdampak langsung dalam penyusunan dan penilaian Amdal itu penting, agar prosesnya partisipatif. “Amdal itu prosesnya wajib partisipatif. Oleh karena itu masyarakat harus terlibat,” tegasnya.
Dalam RPP Pelaksanaan UU Cipta Kerja bidang PPLH, tidak semua perizinan usaha mengharuskan persyaratan Amdal. Karena, kata San Afri, pendekatan Persetujuan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja itu berbasis risiko. Hanya usaha berisiko tinggi yang wajib membutuhkan persetujuan lingkungan Amdal.
Adapun untuk usaha berisiko rendah, itu cukup Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk memulai usaha. Untuk berisiko menengah, wajib mendapatkan sertifikat standar dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News