Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 144,90 triliun hingga 15 Juli 2025. Angka ini sudah mendekati target pembelian BI tahun ini yang mencapai lebih dari Rp 150 triliun.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa apabila pembelian SBN oleh BI melebihi target Rp 150 triliun secara signifikan, pasar bisa memersepsikan bahwa pemerintah sangat bergantung pada bank sentral untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Persepsi ketergantungan ini bisa berdampak negatif terhadap kredibilitas fiskal dan moneter Indonesia di mata investor, terutama asing, yang dalam jangka panjang bisa meningkatkan premi risiko Indonesia dan menyebabkan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi negara,” tutur Josua kepada Kontan, Kamis (17/7).
Selain itu, pembelian SBN dalam jumlah besar juga menimbulkan tantangan dalam transmisi kebijakan moneter. Pasalnya, likuiditas yang disalurkan melalui pembelian SBN belum sepenuhnya terserap optimal melalui mekanisme Reverse Repo oleh perbankan.
Baca Juga: Bank Indonesia: Nilai Tukar Rupiah Dalam Tren Menguat
Josua menekankan bahwa jika kelebihan likuiditas ini tidak segera diserap melalui instrumen lainnya, maka terdapat risiko meningkatnya inflasi. Selain itu, likuiditas ini bisa mengalir ke aset-aset spekulatif atau non-produktif yang tidak mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Di sisi lain, pembelian SBN yang berlebihan dari target juga berpotensi menciptakan volatilitas di pasar keuangan. Jika pasar menilai langkah tersebut sebagai bentuk “monetisasi utang” oleh BI, maka dampaknya bisa berupa tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan meningkatnya risiko capital outflow akibat menurunnya kepercayaan investor.
“Dalam kondisi ini, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal harus lebih diperkuat untuk menjaga keseimbangan antara pembiayaan APBN yang sehat dengan stabilitas moneter,” ungkapnya.
Josua juga menyarankan agar pemerintah terus mengupayakan diversifikasi sumber pembiayaan lain, seperti penerbitan sukuk global dan Samurai Bonds yang terbukti menarik minat investor asing.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pembelian SBN oleh BI mencerminkan dukungan bank sentral terhadap pembiayaan APBN, khususnya ketika kebutuhan dana cukup besar. Namun, secara gross, kepemilikan SBN oleh BI hanya meningkat sebesar Rp 107 triliun—dari Rp 1.486,9 triliun pada akhir Desember 2024 menjadi Rp 1.593,4 triliun per pertengahan Juli 2025.
Sementara itu, nilai SBN yang digunakan dalam operasi moneter dengan bank mengalami kenaikan Rp 188 triliun dalam periode yang sama—dari posisi negatif Rp 131 triliun menjadi positif Rp 56,6 triliun.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembelian SBN oleh BI sebenarnya diserap kembali ke dalam sistem perbankan melalui operasi moneter,” jelasnya.
Namun, Josua mencatat fenomena menarik lainnya: transaksi Reverse Repo oleh perbankan justru mengalami penurunan signifikan sebesar Rp 153,8 triliun. Penurunan ini mengindikasikan bahwa kebutuhan perbankan terhadap likuiditas dari BI berkurang drastis.
“Dengan kata lain, sebagian besar likuiditas yang disuntikkan BI melalui pembelian SBN tidak seluruhnya terserap secara optimal oleh perbankan dalam operasi moneter rutin melalui Reverse Repo,” tandas Josua.
Baca Juga: Jaga Stabilitas Rupiah, Jadi Tujuan BI Borong SBN Banyak
Selanjutnya: Hasil Negosiasi Tarif Trump Jadi 19%, Ekonom Beberkan Dampaknya
Menarik Dibaca: Bukan Menggantikan Koki, Robot Ini Justru Jadi Asisten di Dapur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News