Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Defisit anggaran tahun ini diprediksi melebar. Dalam nota keuangan yang disampaikan pemerintah kepada DPR, pemerintah mematok defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017 mencapai Rp 397,2 triliun atau 2,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi belanja kementerian dan lembaga bisa mencapai 100%.
Namun, dengan telah memperhitungkan anggaran yang tidak terserap secara alamiah, defisit anggaran tahun ini diperkirakan mencapai Rp 362,9 triliun atau 2,67% dari PDB. Persoalannya, defisit yang melebar ini diikuti dengan kenaikan anggaran subsidi energi yang diusulkan naik sebesar Rp 25,8 triliun menjadi Rp 103,1 triliun dalam RAPBN-P 2017.
Adapun defisit ini memperhitungkan adanya penurunan target penerimaan perpajakan sebesar Rp 50 triliun menjadi Rp 1.458,9 triliun dari target APBN 2017 yang sebesar Rp 1.498,9 triliun. Hal ini lantaran realisasi penerimaan perpajakan di semester I 2017 hanya sebesar Rp 571,9 triliun atau hanya atau 38,2% dari target.
Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri bilang, bila memandang dari angkanya saja, yakni 2,67% dari PDB, perkiraan defisit anggaran ini tidak perlu dikhawatirkan. Namun, bila melihat kualitas belanjanya, maka angka ini patut diwaspadai.
“2,67% dari PDB masih oke. Dari segi angka tidak petlu khawatir, tapi kualitas belanjanya harus khawatir. Persoalannya, defisit melebar bukan karena belanja produktifnya naik,” katanya kepada KONTAN, Minggu (9/7).
Menurut Chatib, turunnya penerimaan perpajakan dan naiknya subsidi energi membuat fiskal membengkak meski pada saat yang sama, ada penghematan pada belanja barang Kementerian/Lembaga sebesar Rp 16 triliun. Itu berarti, penyebab dari defisit yang melebar bukan belanja pemerintah, melainkan pajak dan subsidi. Akibatknya, postur fiskal kurang produktif.
“Penerimaan perpajakan meleset Rp 50 triliun, di sisi lain pemerintah akan menambah utang Rp 33 triliun dari penerbitan SBN. Artinya, di sisi penerimaan kurang Rp 50 triliun, di sisi spending kurang Rp 33 trilun. Dengan begitu, kiri-kanan sekitar Rp 83 triliun. Ini karena perpajakan tidak tercapai, ekonomi lemah dan komoditas masih jelek. Di sisi lain, subsidinya naik,” jelasnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara sependapat. Menurutnya, angka defisit 2,67% dari PDB merupakan angka yang aman. Namun, melihat kepada sebabnya, ia merasa perlu ada kekhawatiran.
“Perlu belajar dari pengalaman pada tahun 2015 lalu di mana defisit ditargetkan 1,9% dan realisasi tembus 2,8%,” ujar dia.
Permasalahan saat ini menurut Bhima adalah defisit bengkak karena tambahan subsidi BBM, elpiji 3 kilogram, listrik, serta bantuan sosial. Anggaran perlindungan sosial sendiri naik menjadi Rp 159,8 triliun atau naik 1,14% dibanding APBN 2017.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News