kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pelaku usaha minta pengesahan RUU anti monopoli jangan terburu-buru


Rabu, 16 Januari 2019 / 22:13 WIB
Pelaku usaha minta pengesahan RUU anti monopoli jangan terburu-buru


Reporter: Umi Kulsum | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) meminta agar pengesahan revisi undang-undang (RUU) nomor 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tidak dilakukan terburu-buru. Sebab masih banyak materi yang secara substansi belum memenuhi kondisi riil pelaku usaha dalam menumbuhkan daya saing ekonomi nasional.

Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono menyampaikan, pengusaha keberatan terhadap RUU yang akan segera diketuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini justru akan menimbulkan kontra produktif bagi iklim usaha di Indonesia. 

"Ini perlu diperbaiki banyak substansi yang masih krusial dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan khususnya dilihat dari kepentingan pengembangan usaha ke depan," ujar Sutrisno di Gedung Permata Kuningan Jakarta, Rabu (16/1).

Adapun sejumlah poin isu yang menjadi perhatian Apindo terkait RUU ini. Pertama, mengenai penggabungan atau peleburan yang masih belum jelas. Contohnya apakah itu wajib memberitahukan ataukah wajib mendapatkan persetujuan dari KPPU sebelum melakukan penggabungan.

Sementara sanksi hingga sebesar 25% dari nilai transaksi hanya karena lalai memberitahukan kepada KPPU dirasakan terlalu besar, termasuk sanksi publikasi dalam daftar hitam pelaku usaha. "Pembelian aset oleh satu perusahaan kepada perusahaan lain seharusnya tidak bisa dikategorikan sebagai merger atau akuisisi yang harus dilaporkan kepada KPPU," ujar dia.

Kedua, pasal tentang kemitraan akan bersifat kontra produktif bagi upaya mengembangkan kemitraan. Ancaman hukuman yang berat termasuk denda 25% dari nilai transaksi menyebabkan usaha besar enggan untuk bermitra dengan usaha kecil. 

Dalam hal ini, lanjut Sutrisno yang dirugikan adalah usaha kecil atau menengah karena akan sulit mencari mitra usaha besar. Pasal yang seharusnya di rumuskan justru harus bisa merangsang dan memotivasi terjadinya kemitraan antara usaha besar dengan UKM.

KPPU sebagai lembaga pengawas memiliki kewenangan yang masih integrated, di mana KPPU dapat bertindak sebagai pelapor, pemeriksa atau penuntut dan sebagai pemutus yakni hakim dan bahkan pada saat keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung KPPU berposisi sebagai pihak. Kadin dan Apindo berpendapat bahwa kewenangan tersebut seharusnya dipisahkan antara sebagai penuntut dan sebagai hakim.

Ketiga, pelaku usaha memandang pasal mengenai denda sebesar maksimum 25% dari nilai penjualan harus diganti dengan denda berdasarkan illegal profit atau maksimum dua atau tiga kali dari illegal profit.

Tak hanya itu, sanksi rekomendasi pencabutan izin juga harus dihapus karena tidak sesuai dengan tujuan hukum persaingan usaha. "Keberatan boleh diajukan jika pelaku usaha membayar 10% dari nilai denda. Hal ini berat bagi terlapor karena bisa menyebabkan kegiatan usaha terhenti," paparnya.

Kadin dan Apindo juga meminta waktu perpanjangan kepada pengadilan negeri jangan 45 hari untuk memeriksa keberatan namun maksimal enam bulan yang memungkinkan memeriksa terlapor dan dapat mengajukan bukti-bukti seperti dokumen, saksi dan ahli untuk menguji putusan KPPU secara menyeluruh.

"Ancaman hukuman denda sebesar Rp 120 juta dan hukuman kurungan enam bulan bagi orang yang menghalangi proses pemeriksaan perlu dihapus karena sudah diatur dalam peraturan hukum lainnya," lanjutnya

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit menambahkan, apabila RUU ini dipaksakan untuk segara diketuk namun secara kualitas tidak baik akan merugikan iklim dunia usaha. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian yang sedang mengalami defisit neraca perdagangan.

"Kami bukan menolak untuk disahkan tapi meminta DPR dan pemerintah mendengar dulu masukan kami banyak hal yang kontra produktif terhadap pelaku usaha. Untuk apa bikin regulasi baru kalau sebenarnya masih ada UU yang bisa dipakai sebagai pedoman," terang Anton

Ketua Komite Tetap bidang Kerjasama Perdagangan Kadin Ratna Sari Lopis memandang regulasi yang terlalu rumit akan membuat investor enggan berinvestasi di Indonesua. Terlebih negara ini masih membutuhkan investasi dalam rangka mendukung Masyarakat Ekonomi Asean (Asean). Ratna berharap regulasi yang ada turut mendukung investor untuk menyasar investasi di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×