Reporter: Abdul Basith Bardan | Editor: Noverius Laoli
"Biaya logistiknya tinggi sementara volume perdagangannya sedikit, jadi secara ekonomi tidak lucrative untuk eksportir," jelas Shinta.
Seperti pada IC-CEPA dimana Indonesia belum banyak memanfaatkan perjanjian tersebut. Perjanjian yang telah efektif berjalan Agustus 2019 itu masih belum banyak mendongkrak ekspor.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan pada tahun 2019 Indonesia mengalami defisit neraca dagang dari Chile sebesar US$ 22,43 juta. Namun, periode Januari - September 2020 Indonesia surplus atas Chile sebesar US$ 12,97 juta.
Selain masalah pengenalan pasar, masalah lambatnya ratifikasi juga menjadi penjegal efektifitas perjanjian dagang. Salah satu perjanjian dagang yang masih belum diratifikasi saat ini adalah Indonesia - EFTA CEPA.
Padahal perjanjian yang selesai November 2018 lalu itu dianggap penting oleh pelaku usaha. Perjanjian dengan 4 negara EFTA itu dinilai bisa menjadi pintu masuk bagi perjanjian Indonesia - Uni Eropa CEPA yang masih dalam perundingan saat ini.
Baca Juga: Mendag janji RCEP tidak akan membuat Indonesia kebanjiran impor
Pandemi virus corona (Covid-19) yang terjadi saat ini pun menjadi kendala efektifnya perjanjian dagang. Salah satunya IA-CEPA yang tekah dinantikan oleh pelaku usaha.
"Kendalanya hanya kendala penurunan demand pasar karena Covid-19 dan kendala penutupan perbatasan sehingga pertumbuhan kegiatan ekonomi semakin sulit," ungkap Shinta.
Padahal telah ada sejumlah kerja sama yang disiapkan dalam memaksimalkan IA-CEPA. Termasuk pertukaran pekerja terampil untuk meningkatkan keterampilan pekerja Indonesia.
Sebagai informasi saat ini Indonesia mencatatkan nilai ekspor periode Januari hingga September 2020 sebesar US$ 117,19 miliar. Angka tersebut menunjukkan penurunan sebesar 5,81% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Selanjutnya: Wamendag sebut penandatanganan RCEP merupakan hasil arahan Jokowi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News