kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pekerjaan rumah pemerintah di hulu pertanian


Rabu, 18 September 2013 / 13:40 WIB
Pekerjaan rumah pemerintah di hulu pertanian
ILUSTRASI. Kode Redeem FF 4 Mei 2022, Hadiah Skin Legendary Menanti? Cek Sekarang Juga


Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Menenggak aspirin tiap kali sakit kepala datang. Sesaat rasa sakit di kepala memang hilang, tapi jangan-jangan penyakit yang diderita tak sesederhana itu. Butuh pengecekan medis lebih jauh untuk mengetahui sumber penyakit dan mengatasinya.

“Minum aspirin” itulah yang dilakukan pemerintah tiap kali pasokan pangan lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pendekatan impor dan utak-atik aturan perdagangan lebih menjadi prioritas ketimbang mencari tahu akar masalah dan menyelesaikannya.

Pemerintah berkilah, produksi dalam negeri tidak bisa mengimbangi kecepatan kebutuhan. Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan bilang, ada tiga sebab kebutuhan pangan di dalam negeri melonjak setidaknya dalam 10 tahun terakhir.

Pertama, Indonesia adalah negara berpenduduk terbanyak nomor empat di dunia. Jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa menuntut pemenuhan pangan yang makin besar.

Kedua, pertumbuhan ekonomi mengantarkan Indonesia menjadi negara emerging market. Hal ini memunculkan fenomena jumlah penduduk berpenghasilan menengah dan produktif atau middle class income ikut melejit. Menurut Rusman, perubahan demografis dan ekonomis masyarakat tersebut cukup mengejutkan.

Ketiga, penyusutan luas lahan pertanian. Rusman memberi contoh, pada tahun 1992 silam, kedelai pernah mencapai swasembada ketika produksi nasional 1,5 juta ton setahun. Ini terjadi lantaran luasan lahan tanam kedelai nasional 1 juta hektare (ha). Kini, luasan lahan tinggal 570.000 ha dan hanya menghasilkan 850.000 ton.

Namun, soal penyusutan lahan tersebut, Kementerian Pertanian (Kemtan) seolah lepas tangan dengan menyalahkan situasi pasar. Pada tahun 1992, harga kedelai bisa 1,5 kali lebih mahal dari harga beras. Sementara sekarang, kondisi berkebalikan. Dengan alasan harga tidak menarik, para petani kedelai lambatlaun berganti menanam komoditas lain atau malah menjual lahan. “Kalau harga jual bagus, tentu kami tidak perlu berkampanye dan memberikan insentif karena petani pasti dengan sendirinya akan ramai-ramai menanam kedelai,” kilah Rusman.

Tapi, bukan berarti pemerintah tinggal diam. Sejak tahun 2009, Rusman mengatakan, pemerintah mencanangkan peta jalan alias roadmap menuju swasembada pangan dengan target bisa tercapai 2014. Ada lima komoditas yang menjadi perhatian utama pemerintah, yakni beras, jagung, kedelai, sapi, dan gula pasir kristal. Kecuali kedelai, pemerintah percaya diri, proyeksi produksi empat komoditas di 2013 mendekati target pemenuhan kebutuhan nasional.

Khusus untuk beras, ada tambahan target capaian 10 juta ton dari kebutuhan nasional. Target surplus ini dimaksudkan sebagai cadangan satu kali panen atau 3,5 bulan–4 bulan, dengan asumsi konsumsi nasional per bulan 2,7 juta ton beras.

Pemerintah melalui Kemtan juga mengaku sudah melakukan segala daya dan upaya untuk terus menggenjot produksi. Ambil contoh, dengan mengintensifkan penanaman komoditas di wilayah-wilayah produktif, memperluas lahan, dan membagikan benih gratis.

Perlu pembenahan di sana-sini

Namun, lontaran pemerintah bertolak belakang dengan yang dialami para petani atau peternak di lapangan. Sejauh ini, mereka masih menemui banyak kendala dan kurang merasakan sentuhan berarti dari pemerintah. Malah, beberapa program yang disusun pemerintah dianggap gatot alias gagal total.

Tak ayal, para peternak dan petani kompak satu suara: penanganan pemerintah terhadap sektor pertanian lokal masih jauh api dari panggang. Secara garis besar, ada empat permasalahan besar di hulu pertanian negara kita yang menunggu untuk segera diselesaikan.

Pemberdayaan petani cerdas

Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengungkapkan, sejumlah program dalam roadmap Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2010 tidak berhasil. Contohnya, Lembaga Mandiri yang Mengakar Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD), dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS).

Program-program tersebut hanya menempatkan para peternak sebagai objek program dan tidak menciptakan pemberdayaan peternak. “Pembinaan kurang karena ada dimensi politik dalam program-program tersebut,” tuding Teguh.

Senada dengan Teguh, Mukhlisin, petani kedelai asal Jember, Jawa Timur yang juga Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga Dewan Kedelai Nasional (DKN), menuturkan, para kelompok tani kedelai di Jember memang mendapat bantuan dari pemerintah. Sayang, selama ini mereka hanya kebagian peran tandatangan.

Dana yang masuk ke rekening-rekening kelompok tani tetap dibelanjakan oleh petugas Dinas Pertanian setempat. Lantas, para petani hanya tinggal menggunakan hasil belanjaan, seperti benih, pupuk, dan obat hama. “Cara ini tak mencerdaskan petani dan rawan korupsi juga,” ungkap Mukhlisin.

Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiana tak kalah pedas menanggapi peran pemerintah terhadap para petani cabai. Menurut dia, sikap pemerintah selama ini dalam mengatasi masalah pangan seperti pemadam kebakaran. Jadi baru bertindak ketika masalah sudah muncul api di permukaan. Padahal, kekurangan stok bahan pangan semestinya tak perlu terjadi jika pemerintah bisa lebih tanggap menganalisis sejak jauh-jauh hari.

Teknologi dan pengelolaan pertanian

Dadi mengatakan, dalam proses tanam ancaman gagal panen kerap mengintai. Namun, gagal panen yang disebabkan hama maupun cuaca ekstrem tersebut selayaknya tak selalu dijadikan kambing hitam atas produksi yang menyusut.

Seharusnya, Dadi bilang, Kemtan bisa menghadirkan ahli atau menyuguhkan teknologi yang bisa menjawab permasalah tersebut. Lebih dari itu, petani tak hanya diperkenalkan pada teknologi tapi juga didampingi hingga masa panen sukses. “Menambah luas lahan saja tidak menjadi solusi kalau petani tidak didampingi dalam mengelola lahan, karena hanya akan memperbesar persentase gagal panen saja,” kata Dadi.

Teguh, dari suara peternak sapi, menuturkan, mayoritas peternak sapi nasional adalah peternak kecil dengan kepemilikan dua hingga tiga ekor sapi per orang. Jumlah mereka yang sampai 5,9 juta orang ini masih memposisikan beternak sebagai aktivitas sambilan. Kekuatan kuantitas ini sekaligus memiliki kekurangan dari pengawasan pengelolaan ternak demi menghasilkan sapi ternak yang berkualitas.

Manajemen stok pascapanen

Layaknya hukum ekonomi, kala pasokan melimpah, harga turun. Begitu sebaliknya. Yang menyedihkan, ketika stok sedikit di pasaran, solusi pemerintah adalah melakukan impor. Ketua Dewan Bawang Merah Nasional (DBMN) Sunarto Atno Taryono berkeyakinan naik-turun stok ini mestinya bisa dijembatani jika ada manajemen stok berupa gudang-gudang sentra. “Pemerintah belum ambil peran di sini,” tegasnya.

Sunarto berkisah soal bawang. Kalender panen tumbuhan yang masuk umbi-umbian ini adalah: produksi Januari hingga Juni biasanya mencerminkan 30% total produksi setahun. Sementara produksi Juli hingga Desember mencerminkan 70% total produksi setahun.

Masalah yang sama juga dialami peternak sapi. Teguh mengungkapkan, mayoritas peternak sapi ada di daerah yang jauh dari pusat kota. Kondisi itu diperparah infrastruktur jalan yang tidak mendukung. Alhasil, ketika akan memasarkan hasil ternak, para peternak bergantung pada pedagang besar.Kenyataan lain, pasar utama sapi ada di Jawa Barat dan Jabodetabek. Jalan panjang penjualan ini tak ayal memberi dampak harga sapi di tataran petani jadi sangat murah.

Untuk itu, Dadi melihat penting manajemen pola tanam dengan menganalisa kebutuhan di dalam negeri. Untuk cabai, dia berharap, Kemtan bisa mengkoordinir seberapa banyak cabai nasional yang mestinya ditanam oleh petani dengan melihat proyeksi kebutuhan ke depan.

Cara tersebut dipakai untuk mengatasi stok berlimpah yang berpotensi memerosotkan harga jual di tingkat petani. Plus mencegah spekulasi di kalangan petani sendiri karena ramai-ramai menanam kala melihat harga sebuah komoditas melejit. “Mestinya dikelola secara terintegrasi sehingga ada stabilisasi harga,” ujar Dadi.

Kendala modal

Terakhir tapi tak kalah penting adalah perihal permasalahan klasik para petani dan peternak, yaitu permodalan. Teguh bilang, memang pemerintah pernah menyodorkan KUPS. Dari sisi bunga cukup rendah yakni 5% per tahun dengan total plafon kredit Rp 4 triliun. Namun, peran pemerintah di KPUS hanya memberikan subsidi bunga sementara pelolosan kredit tetap menjadi kewenangan perbankan. Walhasil, para peternak banyak yang terganjal aturan-aturan kredit bank.

Alternatif lain adalah Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Hanya, kredit ini tetap menuntut agunan. Demikian pula dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). “Katanya KUR tidak pakai agunan tapi dengan alasan prinsip kehati-hatian, bank tetap saja meminta agunan kepada petani,” keluh Dadi.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 50 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×