Reporter: Anastasia Lilin Y, Mimi Silvia, Lamgiat Siringoringo, Handoyo | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Setelah sempat mogok kerja selama tiga hari, 9–11 September, para perajin tahu dan tempe kembali berproduksi. Muasal mereka mogok adalah harga beli kedelai yang menembus angka Rp 10.000 per kilogram (kg).
Harga terus melonjak, meski pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemdag) sudah menetapkan harga jual pemerintah (HJP) untuk kedelai bagi perajin tahu atau tempe. Penetapan ini mengacu ke Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2013.
Di sisi lain, para importir kedelai keberatan dengan HJP. Mereka bisa merugi jika harus menjual sesuai HJP. Soalnya, kedelai itu harus diimpor dan harganya bergantung nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Tapi, para petani kedelai menyatakan suara. Mukhlisin, petani kedelai asal Jember, Jawa Timur, yang juga Ketua Bidang Kerjasama AntarLembaga Dewan Kedelai Nasional (DKN), menuding aksi mogok perajin tahu dan tempe hanya ulah pengusaha besar.
Mukhlisin mengatakan, kala stok kedelai melimpah dan harga jual dari petani hanya di Rp 4.000 per kg–Rp 5.000 per kg, para petani tak mengeluh. Padahal, kalau dihitung-hitung petani nyaris rugi.
Mukhlisin memberi gambaran, rata-rata petani kedelai hanya memiliki lahan 2.000 meter persegi (m²), dengan produksi 2 kuintal–3 kuintal. Mengacu harga beli petani (HBP) Rp 7.000 per kg yang ditetapkan Kemdag, pendapatan petani hanya Rp 1,4 juta hingga Rp 2,1 juta untuk produksi selama tiga bulan. Dengan kata lain, pendapatan bulanan mereka Rp 466.600 hingga Rp 700.000. Jumlah ini belum dipotong modal sekitar Rp 400.000.
Asal tahu saja, HBP petani mengacu ke Peraturan Menteri Perdagangan No. 25/2013. Harga berlaku sejak 1 Juli hingga 30 September 2013 nanti.
Makanya, ketika harga jual kedelai dalam negeri menanjak terseret arus harga kedelai impor, para petani bersyukur. “Kami sudah sejak lama terinjak-injak tapi tidak pernah menjerit,” ujar Mukhlisin.
Sebagai jalan tengah, Kemdag menghapus HJP Rp 7.700 per kg pada bulan Agustus dan menggantinya dengan harga khusus pembelian kedelai bagi perajin tahu dan tempe, yakni pada harga Rp 8.490 per kg. Namun, Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, bilang harga khusus tersebut hanya untuk pembelian 11.500 ton kedelai selama bulan September saja.
Suyanto, Sekretaris Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) mengatakan, volume yang diberikan pemerintah sangat minim. Angka itu hanya sekitar 8,5% dari total kebutuhan kedelai nasional yakni 135.000 ton per bulan.
Dengan alasan biaya produksi yang masih tinggi, para perajin pun kompak menaikkan harga pasca mogok tiga hari. “Kami serentak menaikkan harga jual 20%–25%,” ujar Ketua Umum Induk Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Inkopti) Sutaryo. Di sisi lain, dia mengakui keputusan menaikkan harga dibayangi berkurangnya jumlah pembeli.
Butuh mediator
Kedelai bukan satu-satunya masalah. Harga komoditas pangan lain juga mengalami nasib serupa. Daging sapi, bawang merah, dan cabai, misalnya. Jurus yang dikeluarkan pemerintah pun sama yakni melakukan “negosiasi” harga referensi kepada para petani, peternak, dan pelaku usaha, termasuk importir komoditas tersebut.
Untuk kebijakan impor produk hortikultura, seperti bawang merah dan cabai, pemerintah sedang menyusun harga referensi. Jika harga di pasar di bawah harga referensi maka impor ditunda. Begitu sebaliknya. Harga referensi bisa dievaluasi sewaktu-waktu.
Kalau untuk kebijakan impor sapi, pemerintah menetapkan harga referensi daging sapi potongan sekunder Rp 76.000 per kg. Prinsip harga ini sama seperti produk hortikultura. “Mekanisme diganti karena sistem kuota impor sebelumnya kami anggap kurang responsif terhadap pertumbuhan permintaan dan gejolak pasar,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemdag Bachrul Chairi.
Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana bilang, penetapan harga referensi bisa memberikan dua dampak negatif bagi peternak sapi. Pertama, kalkulasi harga daging potongan sekunder adalah Rp 85.000–Rp 90.000 per kg.
Kedua, para pengimpor akan lebih memilih mendatangkan daging sapi beku ketimbang sapi bakalan atau sapi untuk penggemukan. Sebab, harga daging sapi beku paling mendekati harga referensi. Akhirnya, pengimpor yang diuntungkan.
Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menuturkan, salah satu solusi mengatasi kisruh tata niaga komoditas adalah dengan mengembalikan peran Perum Bulog sebagai penyangga pangan. “Indonesia seharusnya mencontoh negara lain, seperti Malaysia, Jepang, dan Amerika Serikat, yang tidak melakukan liberalisasi pangan karena ketahanan sektor pangan sangat penting,” tegas Eny.
Semoga pemerintah peka.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 50 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News