Reporter: Dwi Nur Oktaviani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Erna Ratnaningsih, menyatakan anggota Komisi X Itet Tridjajati Sumarijanto, bisa mendapat kurungan pidana hingga 4 tahun. Hal itu lantaran Itet telah melanggar pasal 82 UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Pasal ini berbunyi, Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Apalagi, ada juga peraturan tenaga kerja yang melarang Pemutusan Hubungan Kerja bagi pekerja wanita yang hamil, menikah atau melahirkan.
Hal itu diutarakan Erna seusai dirinya mendapat keterangan dari Nurely Yudha Sinangningrum alias Naning yang katanya dipecat sepihak oleh anggota dewan. Padahal, sambung Erna, Naning itu hanya ingin mengajukan cuti hamil, tapi yang didapat Naning malah diberhentikan mantan anggota Komisi IX itu.
“Pasal 82 buruh perempuan berhak memperoleh istirahat. Itu sudah dilakukan (ada surat peryataan cuti dari Naning ke Itet). Namun dia malah dipecat. Dalam UU ketenagaakerjaan memang tidak boleh ada PHK seseorang yang sedang hamil. Ada upaya pidana, kalo ada yang memecat pada hamil. Maka Naning bisa melaporkan kepolisian dan akan mendapat pidana (Itet) 1-4 tahun,” ujar ujar Erna dalam konfrensi pers terkait pemecatan staf ahli DPR, Jumat (19/8).
Menurut Erna seharusnya anggota dewan tidak langsung memecat staf ahlinya yaitu Naning. Namun, sambungnya, harus ada peringatan-peringatan terlebih dahulu, misalnya surat perigatan (SP) 1, SP 2, dan SP3, barulah pemecatan.
“Ini kita analisa memang ada pelanggaran khususnya hak-hak normatif Ketenagakerjaan tahun 2003. Proses pemecatan ada tahapan-tahapan. Kalo memang kinerja Naning tidak baik, memang hak orang tersebut melakukan evaluasi, tapi seharusnya ada proses teguran secara lisan supaya yang bersangkutan bisa melakukan perubahan. Kalau lisan tidak dilaksanakan, ada SP 1, 2 dan 3 dan berakhir pemecatan,” jelasnya.
Bukan hanya itu saja, bagi Erna, keberadaan pekerja DPR baik staf ahli, asisten pribadi dan staf pribadi memang dianggap tidak sesuai dengan UU Tenaga Kerja. Pasalnya, para pekerja hanya berada pada naungan status kontrak yang dibuat Sekretaiat Jenderal (Setjen) DPR. Oleh sebab itu, YLBHI juga mendesak agar ada perubahan struktur status-status kontrak staf DPR. “Ini staf ahli tenaga DPR tidak sesuai UU tenaga kerja. Kita mendesak adanya perubahan struktural status-status kontrak. Soalnya, anggota Dewan bisa memutuskan kontrak kerja seenaknya,” tutupnya.
Pada kesempatan yang sama, Nurely Yudha Sinangningrum mengaku belum mau melaporkan bekas bos-nya ke kepolisian. Baginya, laporan ke aparat hukum adalah langkah terakhirnya kalau kasus pemecatannya tidak tuntas. “Polisi langkah terkahir. Laporan ke BK saja dulu hari Senin ini dan Komnas Rabu,” kata Naning.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News