kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.284.000   34.000   1,51%
  • USD/IDR 16.595   -40,00   -0,24%
  • IDX 8.169   29,39   0,36%
  • KOMPAS100 1.115   -0,85   -0,08%
  • LQ45 785   2,96   0,38%
  • ISSI 288   0,88   0,31%
  • IDX30 412   1,48   0,36%
  • IDXHIDIV20 463   -0,53   -0,11%
  • IDX80 123   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 132   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 129   -0,13   -0,10%

Pakar HI Ini Ingatkan Potensi Negara Lain Minta Imbalan Sama Seperti AS


Kamis, 17 Juli 2025 / 20:35 WIB
Pakar HI Ini Ingatkan Potensi Negara Lain Minta Imbalan Sama Seperti AS
ILUSTRASI. Hikmahanto Juwana, pakar hukum tata negara dan pengamat hukum internasional


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan tarif menjadi 19% yang diraih Indonesia hasil negosiasi tarif resiprokal atau tarif timbal balik dengan Amerika Serikat (AS), berpotensi menarik perhatian negara lain.

Bukan tentang berhasilnya Indonesia bernegosiasi dengan negara yang dipimpin oleh Donald Trump itu. Tetapi soal manfaat yang terang-terangan diberikan Indonesia ke AS sebagai imbalan.

Mulai dari nilai impor atau pembelian komoditas dari yang besar, yaitu hampir US$ 34 miliar. Hingga akses masuk secara bebas ke pasar Indonesia pertama kalinya dalam sejarah AS.

Menurut Pengamat Hubungan Internasional (HI) Hikmahanto Juwana, untuk mengunci posisi setelah tarif turun menjadi 19% dari angka tarif 32%, Indonesia perlu segera menuangkan kesepakatan ini dalam bentuk perjanjian bilateral.

Jika tidak, ini akan memunculkan kecemburuan pada negara-negara World Trade Organization (WTO) lainnya.

Asal tahu saja, dalam perdagangan internasional, telah diatur General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang salah satunya bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi dalam perdagangan antar negara.

"Kalau tidak diatur (perjanjian bilateral), negara-negara anggota WTO akan meminta perlakuan yang sama seperti AS sesuai Pasal 1 angka 1 GATT yang mengatur tentang Most Favored Nations (MFN)," jelas Hikmahanto kepada Kontan, Kamis (17/07).

Baca Juga: Hasil Negosiasi Tarif Trump Jadi 19%, Ekonom Beberkan Dampaknya

Hikmahanto menjelaskan, dari prinsip MFN, kebijakan untuk mengisitimewakan pelaku usaha dari suatu negara harus diberlakukan kepada pengusaha dari negara lain yang menjadi anggota WTO.

"Pengecualiannya hanya bila kebijakan ini dituangkan dalam perjanjian antar negara," ungkap dia.

Hal serupa juga dikatakan Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Mohamad Dian Revindo.

Keputusan Indonesia untuk bergabung sebagai anggota anggota Brasil, Rusia, India, China, South Africa (BRICS) juga dapat memicu munculnya permintaan negara anggota lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan AS.

"Deal (tarif Trump) ini dapat memicu negara mitra lain untuk meminta kemudahan akses ke pasar Indonesia. Bagaimana jika mitra BRICS, terutama Tiongkok meminta penghapusan tarif secara menyeluruh sebagaimana Indonesia memberikan pada AS?," tanyanya.

Di sisi lain, Revindo bilang, BRICS tidak memiliki agenda pembahasan penurunan hambatan tarif dan non-tarif, sehingga akses pasar dan ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS tidak akan banyak meningkat dalam waktu dekat ini.

"Jadi saya pikir, perlu pemetaan dan identifikasi dampak yang menyeluruh untuk berbagai skenario ini," imbuhnya. 

Baca Juga: Dapat 19%, Indonesia Masih Perlu 3 Langkah Lanjutan dalam Hadapi Tarif Trump

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×