Reporter: Noverius Laoli | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki musim kemarau panjang tahun ini, potensi kebakaran hutan dan lahan cukup besar terjadi. Berkaca dari pengalaman selama ini, pemerintah biasanya menyeret korporasi yang lahannya terbakar ke pengadilan dan menuntut ganti rugi.
Pakar Biologi Tanah dan Lingkungan IPB Gunawan Djajakirana mengatakan penangangan kebakaran hutan dan lahan harus melalui kaidah ilmiah. Sebab berdasarkan penelitiannya selama ini, tidak semua kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak buruk pada kerusakan lingkungan dan tanah. "Umumnya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi biasanya kerusakan ringan,"ujarnya, Senin (20/8).
Itulah sebabnya, ia mendorong pemerintah untuk menggunakan kajian ilmiah untuk menelusuri dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan. Kajian ilimiah ini juga dapat digunakan untuk mengukur berapa besar kurugian yang timbul akibat kebakaran tersebut, sehingga menjadi bukti hukum saat masuk ke proses pengadilan.
"Perlu gambaran yang utuh tentang proses hukum kebakaran ditinjau dari kaidah ilmiah sehingga berbagai kontroversi dapat dihindari," imbuhnya
Yanto Santosa, Pakar Konservasi Keanekaragaman Hayati IPB menambahkan penggunaan kaidah ilmiah ini juga dapat menghindarkan industri perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) dari dampak negatif dan sistemik yang kerap dijadikan kampanye negatif di pasar global.
Kemudian, pengadilan dan pemerintah juga dapat melihat secara obyektif perkara kebakaran tersebut di tengah tekanan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)."Karena selama ini kerap terjadi putusan pengadilan berbeda-beda meskipun materi gugatannya sama,"ucapnya.
Pakar Agrometeorologi dan perubahan iklim Idung Risdiyanto bilang, data hotspot dapat menjadi indikator adanya kebakaran, tetapi jumlah titik hotspot bukanlah menggambarkan jumlah kejadian kebakaran.
"Data hotspot dapat digunakan sebagai indikator kejadian kebakaran sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bukti hukum dalam perkara kebakaran hutan dan lahan,"ucapnya.
Pakar Gambut IPB Basuki Sumawinta menyatakan perlu adanya revisi peraturan menteri lingkungan hidup Nomor 7 tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencermaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Ia melihat beleid ini dalam menentukan ganti rugi tidak logis.
"Dalam beberapa kasus, ganti rugi didasarkan pada luas lahan yang terbakar, dan bukan pada nilai kerusakakan yang ditimbulkan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News