Sumber: The Jakarta Post | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pakar kesehatan telah memperingatkan, jika pihak berwenang Indonesia gagal mengambil langkah drastis untuk memperlambat penyebaran virus corona yang menyebabkan COVID-19, Indonesia dapat mencatatkan puluhan ribu kasus pada bulan April, atau sesaat sebelum liburan Idul Fitri.
Hal itu diungkapkan oleh peneliti surveilans penyakit dan biostatistik Iqbal Ridzi Fahdri Elyazar dan timnya di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU). Melansir The Jakarta Post, mereka telah menggunakan metode urutan geometri untuk melihat, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk jumlah kasus virus corona meningkat di Indonesia.
Berdasarkan perhitungan mereka, Indonesia bisa menghadapi 71.000 kasus corona pada akhir April.
Baca Juga: Warga negara Prancis yang ditemukan tewas di trotoar Bali positif corona
Iqbal dan timnya mencatat, waktu penggandaan untuk Italia dan Iran, yang saat ini memiliki angka kematian COVID-19 tertinggi, masing-masing adalah lima dan tujuh hari. Mereka menambahkan, waktu penggandaan akan lebih lama untuk negara-negara yang telah mengambil pendekatan yang lebih keras untuk mengatasi wabah. Korea Selatan, misalnya, memiliki waktu penggandaan 13 hari dan China 33 hari.
Bagaimana dengan Indonesia?
Untuk Indonesia, jumlah kasus COVID-19 meningkat dua kali lipat dalam tiga hari, melonjak dari 172 diagnosis positif pada 17 Maret menjadi 369 pada hari Jumat.
"Semakin pendek waktu penggandaan, semakin berbahaya," kata Iqbal kepada The Jakarta Post pada hari Jumat.
Baca Juga: Tenaga medis jadi korban corona, pemerintah bersedih dan sampaikan duka mendalam
Tim pakar kesehatan memutuskan untuk menggunakan waktu penggandaan Italia dan Iran untuk memetakan tingkat eksponensial yang mungkin terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan urutan geometri ini, ditemukan bahwa jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi dapat mencapai antara 11.000 dan 71.000 pada akhir April.
Prediksi ini, kata Iqbal, dimaksudkan untuk mendorong pemerintah untuk mengambil langkah besar dan efektif untuk menangani wabah, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya jarak sosial.
Menggandakan waktu, katanya, tergantung pada kemampuan virus untuk menginfeksi, besarnya temuan kasus dan efektivitas intervensi.
"Tujuh puluh satu ribu kasus mungkin terdengar menakutkan, tapi itulah yang akan terjadi tanpa intervensi yang tepat. Presiden telah mendesak publik untuk mempraktikkan jarak sosial dan kami berharap semua orang mendengarkannya sehingga kami dapat mengurangi waktu penggandaan," paparnya kepada The Jakarta Post.
Dia menambahkan bahwa informasi yang jelas dan transparan tentang tempat-tempat yang dikunjungi oleh pasien COVID-19 penting untuk mengurangi tingkat pertumbuhan eksponensial penyakit sehingga masyarakat dapat menghindari daerah ini.
Baca Juga: Ingat, jadwal operasional sejumlah bank dibatasi mulai hari ini
Menurut proyeksi Hadi Susanto, seorang profesor Matematika Terapan di Universitas Essex di Inggris dan Universitas Sains dan Teknologi Khalifa di Uni Emirat Arab, puncak COVID-19 di Indonesia adalah sekitar bulan Ramadan, yang diharapkan akan berlangsung dari 23 April hingga 23 Mei.
Dengan asumsi bahwa bahkan setelah penguncian diberlakukan dan orang-orang masih bekerja dan melakukan bisnis seperti biasa dan hanya ada dua kelompok orang, yang sehat dan yang sakit, 50% dari populasi dapat terinfeksi dalam 50 hari setelah kasus pertama diumumkan oleh Presiden pada 2 Maret, katanya.
Baca Juga: Hipmi akan ikuti anjuran Anies Baswedan untuk penghentian perkantoran
“Kami menggunakan Jakarta sebagai sampel dengan populasi sekitar 10 juta. Pada puncaknya, virus ini dapat menginfeksi 50% populasi,” kata Hadi kepada The Jakarta Post, Jumat.
Hadi menambahkan, jika tidak ada kebijakan lockdown dan orang-orang dapat dengan mudah masuk dan keluar dari ibukota, maka "pandemi tidak akan mencapai puncaknya dan jumlah orang sakit akan terus bertambah".
“Ini prediksi pesimistis saya, dibentuk dengan model matematika sederhana. Dan tentu saja, saya berharap saya benar-benar salah," katanya.
Achmad Yurianto, direktur jenderal pengendalian dan pencegahan penyakit Kementerian Kesehatan, mengatakan pada konferensi pers pada hari Jumat bahwa pemerintah telah menyiapkan 1 juta test kit untuk pengujian besar-besaran.
“Antara 600.000 dan 700.000 orang berisiko (tertular COVID-19),” katanya, seraya menambahkan bahwa hanya mereka dengan risiko infeksi yang lebih besar yang akan diuji..
Sekelompok peneliti di Pusat Pemodelan dan Simulasi Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) sebelumnya memperkirakan bahwa wabah akan berakhir pada pertengahan April dan menginfeksi sekitar 800.000 orang.
Baca Juga: Warning ilmuwan China: Virus corona akan menyerang Eropa selama dua tahun!
Nuning Nuraini, salah satu peneliti, mengatakan tim telah menggunakan model estimasi parameter berdasarkan penyebaran infeksi di Korea Selatan, yang telah dipuji karena langkah-langkah pencegahan agresif dan pengujian cepat skala luas.
Salah satu langkah tersebut adalah menyediakan pusat pengujian drive-through COVID-19 yang mampu menguji ribuan orang, menangkap infeksi lebih awal dan bergegas membawa pasien ke rumah sakit untuk mengekang penyebaran penyakit.
Pemodelan para peneliti ITB lebih "optimistis" dibandingkan dengan yang lain. Namun, pada hari Jumat, setelah pemerintah mengumumkan bahwa negara tersebut telah mencatat 369 kasus positif, Ninung mengatakan mereka tidak bisa lagi menggunakan parameter Korea Selatan untuk memperkirakan profil epidemi di Indonesia, karena kasus yang dikonfirmasi di sini terus meningkat secara signifikan.
Baca Juga: Mulai hari ini, operasional Bank Danamon hanya hingga pukul 14.30 WIB
Dia menambahkan bahwa situasinya bisa lebih baik dan tingkat infeksi dapat ditekan.
“Tetapi jika metode intervensi kami tidak efektif, maka puncaknya bisa bergeser, seperti yang dijelaskan Hadi. Setiap orang harus bekerja bersama untuk mencegah penyebaran penyakit. Jika ini tidak terjadi, maka jumlah kasus tidak akan berkurang. Pandemi influenza Spanyol menewaskan sepertiga dari populasi dunia. Jangan sampai itu terjadi lagi,” tambahnya.
Sementara itu, menurut Panji Hadisoemarto dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan peneliti senior di Pusat Studi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs Center) universitas, semua pemodelan matematika COVID-19 yang dibuat oleh para ilmuwan dimaksudkan untuk memberikan informasi yang andal kepada pemerintah untuk memperkirakan dampak penularan penyakit dan mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi yang sedang digunakan.
Baca Juga: Efek Corona, Wahana Artha Tunda Sejumlah Ekspansi
“Kami harus memastikan bahwa intervensi efektif dan ditegakkan; pemerintah harus memberi lebih dari sekadar rekomendasi. Dan semakin cepat intervensi, semakin baik," tegas Panji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News