Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Kualitas moral seseorang rupanya tak selalu sejalan dengan gelar akademik yang diraihnya. Siapa pun dia, bahkan para profesor sekalipun, tak aman dari godaan korupsi. Jika memang ditemukan bukti awal dugaan korupsi yang dilakukannya, siapa pun bisa dijemput oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebut saja Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Pria kelahiran Tasikmalaya, 9 Februari 1962 ini dikenal sebagai akademisi ulung di bidang perminyakan.
Rudi menyelesaikan jenjang sarjananya di Institut Teknologi Bandung Jurusan Perminyakan pada 1985. Kemudian melanjutkan studi pascasarjananya di Technische Universitat Clausthal, Jerman, dan meraih gelar doktor pada 1991. Ia meraih penghargaan sebagai dosen ITB teladan pada 1994 dan 1998. Gelar guru besar kemudian diraihnya pada 2010.
Namun kini, Rudi harus berurusan dengan KPK lantaran kasus suap yang menjeratnya. Dia tertangkap tangan penyidik KPK di kediamannya, di Jalan Brawijaya, Jakarta, pada Selasa (12/8/2013) dengan barang bukti pecahan dollar AS dan dollar Singapura yang nilainya lebih dari Rp 4 miliar, termasuk sebuah motor gede klasik keluaran BMW.
Keesokan harinya, Rudi beserta pelatih golfnya, Deviardi dan seorang pengusaha trader minyak mentah, Simon Gunawan Tanjaya, ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Bukan satu-satunya
Rudi bukan satu-satunya akademisi yang masuk dalam pusaran korupsi. Beberapa bulan lalu publik dikejutkan dengan ditetapkannya Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia, Keuangan, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia Tafsir Nurchamid sebagai tersangka.
Guru besar FISIP UI ini diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek pembangunan dan instalasi teknologi informasi perpustakaan UI tahun anggaran 2010-2011. Selama berkarier di UI, Tafsir pernah menjabat beberapa posisi penting. Sebelum jadi wakil rektor, dia pernah menjabat Wakil Kepala Program Diploma (1997-2004) FISIP UI dan Wakil Dekan untuk Urusan Non Akademik (2003-2007) FISIP UI.
Di luar kehidupan akademisnya, Tafsir juga menjadi akuntan terdaftar yang menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Administrasi periode 1985-2003 dan Komisaris Konsil pada PT JIEP Jaya antara tahun 1997 sampai 2000.
Sebelum Tafsir, ada tokoh akademisi UI lainnya yang juga terjerat korupsi. Miranda S Goeltom misalnya. Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia itu kini mendekam di penjara lantaran kasus suap cek perjalanan yang menjeratnya.
Miranda mengawali kariernya sebagai dosen pada tahun 1973 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia hingga menjadi guru besar di fakultas tersebut sampai sekarang. Wanita kelahiran Jakarta, 19 Juni 1949, ini meraih gelar sarjananya di Fakultas Ekonomi UI. Kemudian, dia meraih gelar Master Ekonomi Politik di Boston University, Amerika Serikat dan gelar Ph.D di universitas yang sama.
Selanjutnya, ada nama Emir Moeis. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga politikus PDI-Perjuangan ini ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan menerima suap terkait proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung.
Sebelum menjadi anggota DPR sejak 1999, Emir dikenal sebagai pengajar di UI. Dia menyelesaikan gelar sarjana di ITB, kemudian menamatkan pendidikan pascasarjananya di UI, dan meraih gelar doktoral di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat.
Meskipun tidak dikenal sebagai pengajar, nama Andi Mallarangeng juga dikenal di kalangan "orang-orang pintar" lulusan luar negeri. Andi meraih gelar doktornya di di Nothern Illinois University, AS sebelum diangkat menjadi menteri pemuda dan olahraga. Namun kini, Andi berstatus sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Hambalang dan menanggalkan jabatan menterinya.
Orang pintar dan korupsi
Terjeratnya orang-orang pintar dalam kasus korupsi seolah menjadi hal yang lumrah. Juru Bicara KPK Johan Budi mengakui, rata-rata mereka yang terlibat korupsi adalah orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Mereka yang berasal dari kalangan pendidikan tinggi yang kemudian menjabat di kursi Pemerintahan atau legislatif.
"Kalau enggak pintar, ya enggak bisa korupsi. Kalau di KPK memang sudah ada beberapa dokter yang jadi koruptor," kata Johan, Kamis (15/8).
Dia juga mengatakan, KPK tak akan pandang bulu. Siapa pun orang itu, bergelar profesor ataupun doktor, jika ditemukan dua alat bukti yang cukup, KPK tetap memprosesnya secara hukum. "Jadi enggak ada hubungannya, ya bagaimana moral dia, ini bukan soal gelar profesor atau doktor," kata Johan.
Siapapun bisa terjerat
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menilai, terlibatnya akademisi dalam pusaran korupsi semakin menunjukkan kekuatan korupsi di Indonesia semakin sistemik dan semakin menggerogoti profesionalisme, apa pun jenis profesinya.
“Kalau tidak dibongkar dari akarnya, siapa pun bisa saja terjebak dalam korupsi,” ujar Arie saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/8).
Arie menegaskan, kini korupsi sudah tak pandang bulu. Baik akademisi, birokrat, aktivis, maupun aparat penegak hukum bisa saja masuk dalam perilaku korup. Ia mencontohkan kasus korupsi yang justru terjadi di institusi pendidikan seperti dugaan korupsi proyek perpustakaan UI. Kasus Rudi, sebutnya, hanyalah bagian kecil dari gunung es yang tampak di permukaan.
“Kini perguruan tinggi sudah masuk scope sistem dari korupsi yang bekerja. Ini sudah membahayakan jika terus dibiarkan,” katanya.
Arie menampik anggapan adanya culture shock yang terjadi saat seorang akademisi yang biasa hidup sederhana harus menjadi birokrat dengan segala kewenangan dan kemewahan yang ada. Menurutnya, faktor yang menyebabkan semakin korupnya para pemangku kepentingan di negeri ini adalah sistem yang ada di setiap instansi pemerintahan hingga aparat penegak hukum.
"Sistem itu harus segera dirombak total. Sistem birokrasi harus bisa mengimplementasikan deteksi dini atas tindakan korup," tegasnya. (Icha Rastika/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News