kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Omnibus law dinilai berpotensi merugikan jemaah haji dan umrah


Rabu, 26 Februari 2020 / 23:33 WIB
Omnibus law dinilai berpotensi merugikan jemaah haji dan umrah
ILUSTRASI. Masjidil Haram, Masjid al-Haram atau al-Masjid al-Haram adalah sebuah masjid yang berlokasi di pusat kota Mekkah, mekah, mecca macca yang dipandang sebagai tempat tersuci bagi umat Islam.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah menyederhanakan izin investasi bagi investor di segala sektor mendapat sorotan. Regulasi sapu jagad ini bahkan dinilai berpotensi merugikan jemaah haji dan umrah.

Pengajar Hukum Bisnis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Mustolih Siradj, mengatakan, salah satu yang sektor yang terdampak Omnibus Law adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UUPIHU) yang baru beberapa bulan lalu disahkan DPR. 

Baca Juga: Omnibus Law Perlonggar Izin Kawasan Hutan

"Muatan Omnibus Law terkait UUPIHU sangat berpotensi mengancam dan merugikan Jemaah haji dan umrah, pada saat yang sama begitu sangat mengistimewakan pelaku usaha," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (26/2).

Mustolih menerangkan, salah satu pasal yang cukup krusial adalah dalam urusan haji, ancaman pidana 10 tahun pada pasal 125 yang semula dikenakan kepada Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang secara sengaja menyebabkan penelantaran, gagal memberangkatkan serta memulangkan Jemaah “dari” dan “ke” tanah suci, dalam RUU Omnibus Law dihapus diganti dengan sanksi adminsitarsi dan kewajiban mengembalikan biaya.

Hal yang sama juga akan diberlakukan terhadap Penyelenggara  Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)  ketentuan ancaman 10 tahun penjara sebagaimana termuat dalam pasal 126 bagi travel umrah yang menelantarkan, menyebabkan gagal berangkat dan memulangkan jemaah “dari” dan “ke” tanah  suci dikonversi menjadi sanksi adminsitarsi dan kewajiban mengembalikan uang. Sanksi pidana baru diberlakukan manakala travel tidak mematuhi kewajiban administrasi oleh regulator. 

Baca Juga: Omnibus law Cipta Kerja dinilai bisa sehatkan industri telekomunikasi, ini kata ATSI

Dicabutnya ancaman pidana terhadap PPIU dan PIHK tersebut dikhawatirkan akan kembali menyuburkan praktik bisnis nakal oknum-oknum travel karena pada saat yang sama perlindungan hukum terhadap jemaah haji dan umrah dilemahkan. 

Padahal, lanjut Mustolih, masih belum lama ingatan publik marah terhadap peristiwa dan tragedi memilukan ratusan ribu jemaah umrah gagal berangkat dan uangnya raib tidak kembali karena dikerjain beberapa travel nakal. Begitu pula dengan gagalnya ratusan Jemaah haji ke tanah suci yang hanya sampai di Pilipina. Dalam masalah tersebut pemerintah lepas tanggungjawab.

Oleh karena itu, menurutnya, konsep pemerintah ingin menyederhanakan bisnis di sektor haji dan umrah sangat tidak selaras dan tidak ‘nyambung’.

Mustolih mengatakan, seharusnya jika ingin menata sektor haji dan umrah lebih mudah, efesien dan menarik investor yang mestinya dicabut dan direvisi adalah Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang selama ini mengganjal dan menghambat investasi dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). 

Baca Juga: Mendapat banyak kritikan, Menkominfo jelaskan maksud RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Kedua PMA tersebut sangat menghambat investasi, karena pelaku usaha yang mendapat izin PPIU dari Kemenag harus memiliki izin operasi sebagai biro perjalanan wisata umum dari dinas Pariwisata yang berusia minimal 2 tahun. Kemudian untuk menjadi penyelenggara haji plus/khusus (PIHK) terlebih dahulu harus menjadi PPIU yang pernah memberangkatkan Jemaah paling singkat selama 3 (tiga) tahun dengan kuantitas jemaah sedikitnya 300 orang.

"Syarat-syarat semacam ini yang perlu segera disingkirkan oleh pemerintah karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut serba mudah dan cepat," terangnya.

Baca Juga: Anggota DPR dari fraksi PKS nilai pemerintah belum perlu revisi APBN 2020

Maka bila semangatnya easy of doing business (EoDB) PMA tersebut harus dicabut atau direvisi. Investor dimudahkan dengan cara menghapus syarat-syarat yang menghambat.

Bahkan bila pemerintah memang benar serius ingin memangkas hambatan usaha, izin untuk mendapatkan travel umrah dan haji khusus mestinya bisa diproses dan dikeluarkan secara bersama-sama dengan jangka waktu yang secepat-cepatnya.

Maka keliru, Mustolih melanjutkan, bila arah omnibus law justeru melemahkan kedudukan dan perlindungan hukum terhadap Jemaah haji dan umrah yang dalam hal ini berperan sebagai konsumen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×